Visi Pemerintah dan Mahkamah untuk Perubahan UU Advokat
Kolom

Visi Pemerintah dan Mahkamah untuk Perubahan UU Advokat

​​​​​​​Advokat seharusnya menjadi sumber ide dan pembaharu hukum.

Bacaan 2 Menit

 

Pemerintah menjabarkan rangkaian langkah implementasi dari idea perubahan atas UU Advokat, dengan kalimat penutup “Demikian rancang bangun politik hukum advokat di Indonesia yang beberapa waktu lalu telah dibahas oleh DPR bersama Pemerintah. Oleh karena itu, Pemerintah memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar didalam putusannya memerintahkan kepada pembentuk undang-undang agar segera membahas kembali RUU Advokat tersebut yang telah dibahas pada masa lalu. [vide Putusan MKRI Nomor 35/PUU-XVII/2018, hlm. 92].

 

Mengingat tengah diterapkannya politik hukum oleh pemerintah, kemudian MK menyatakan pendiriannya dengan menunjuk pembentuk undang-undanglah yang memiliki kewenangan untuk menentukan apa yang sesuai dengan kebutuhan organisasi advokat di Indonesia. [vide Putusan MKRI Nomor 35/PUU-XVII/2018, hlm. 319-320, 112/PUU-XII/2014 dan Nomor 36/PUU-XIII/2015 bertanggal 29 September 2015].

 

MK akhirnya menyatakan bahwa permasalahan organisasi advokat yang secara faktual saat ini masih ada merupakan kasus-kasus konkret yang bukan menjadi kewenangan Mahkamah menilainya. [vide Putusan MKRI Nomor 35/PUU-XVII/2018 angka [3.26] hlm. 321].

 

Melalui Putusan MKRI Nomor 35/PUU-XVII/2018, Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Nomor 36/PUU-XIII/2015 menunjukkan bahwa MK menyepakati Mahkamah Agung dan Pemerintah dengan menganjurkan kepada organisasi advokat untuk bersama pembentuk undang-undang agar segera menindaklanjuti RUU Advokat yang telah dibahas pada masa lalu.

 

Melanjutkan Upaya Visioner Secara Konstitusional

Prof. Otto Hasibuan membaca dengan baik Putusan MKRI Nomor 35/PUU-XVII/2018. Di sisi lain organisasi advokat sedang mengalami lagi masa ketegangan. Namun, secara pribadi penulis kagum terhadap analisis beliau atas putusan tersebut yang mana pandangannya disampaikan dalam Rakernas PERADI di Surabaya tanggal 27 November 2019, salah satunya adalah untuk memastikan penyebutan nama demi kepastian hukum melalui ruang persidangan.

 

Namun, hal itu akan mengalami kesulitan SKMA di atas menunjukkan sikap akhir dari Mahkamah Agung yang menjadi pedoman bagi peradilan di bawahnya untuk tidak terbawa arus konflik dalam bentuk upaya hukum.

 

Demikian juga apabila advokat masih juga berpandangan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan tempat di mana legitimasi konstitusional dapat diperoleh, maka harus dipahami bahwa dalam putusannya MK telah berpendirian terhadap konflik organisasi advokat.

Tags:

Berita Terkait