Urgensi Pendampingan Saksi oleh Advokat
Kolom

Urgensi Pendampingan Saksi oleh Advokat

Bacaan 2 Menit

 

Dalam praktik, Penulis menilai penyidik seringkali bersikap mendua terhadap keberadaan seorang saksi. Apabila saksi berkedudukan sebagai pelapor, kerapkali bahkan hanya dengan bermodalkan surat kuasa, Advokat tanpa didampingi oleh prinsipalnya diijinkan melakukan pelaporan. Ketika saksi bertindak sebagai pelapor yang kerap berstatus sebagai korban, Advokat kerap diperkenankan hadir. Bukan cuma hadir, Advokat kerap kali bersama-sama dengan penyidik melakukan analisis hukum apakah laporan yang diajukan oleh saksi sudah memenuhi unsur-unsur dari salah satu perbuatan pidana yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hampir tidak pernah terjadi penolakan kehadiran Advokat dalam kondisi demikian.

 

Anomali sikap penyidik, baru terlihat ketika Advokat ikut mendampingi seorang saksi yang diminta hadirkan oleh pihak terlapor atau tersangka. Sebelum pemeriksaan, sang penyidik belum apa-apa langsung menyampaikan kepada saksi bahwa dalam KUHAP keberadaan Advokat dalam pemeriksaan saksi tidaklah diwajibkan. Bukankah proses hukum pidana adalah pencarian kebenaran materiil? Bukankah perlu dijaga prinsip ‘praduga tidak bersalah’ dalam proses penyidikan sehingga dengan demikian saksi yang dihadirkan oleh tersangka juga berhak untuk diperlakukan sama? Penyidik entah lupa atau pura-pura tidak tahu, bahwa di dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban[xxiii], setiap saksi berhak untuk mendapatkan nasihat hukum dari seorang Advokat.

 

Dengan argumentasi demikian, maka dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa Advokat berhak mendampingi kliennya yang berstatus sebagai saksi dalam tahapan penyidikan. Dalam RUU KUHAP, pendampingan saksi oleh Advokat sebaiknya juga ditambahkan untuk diatur tegas, untuk mencegah berulangnya polemik tak perlu mengenai hal ini. Termasuk juga bahwa saksi berhak untuk menerima salinan berita acara pemeriksaan.

 

*Penulis adalah Mahasiswa Magister Hukum UGM, Pengurus DPC AAI Jakpus, Praktisi Hukum pada Fredrik J. Pinakunary Law Offices

 

[i] Mahkamah Konsitusi (MK) sendiri saat ini tengah memeriksa dua perkara berisi pengujian beberapa pasal dalam undang-undang nomor 8 tahun 1981 terhadap Undang-Undang Dasar yang terkait dengan persoalan saksi. Kedua permohonan tersebut--Perkara nomor 28/PUU-VIII/2010 yang dimohonkan oleh Rino Pandairot, dkk, dan perkara nomor 65/PUU-VIII/2010 yang diajukan oleh Yusril Ihza Mahendra sebagai pemohon—mengatakan bahwa ketentuan Pasal 1 angka 26 dan angka 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3), ayat (4), serta Pasal 184 ayat (1) KUHAP dianggap telah menegasikan pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum serta dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum dan konstitusi.

[ii] Pendapat tersebut disampaikan dalam persidangan MK pada tanggal 18 Januari 2010 dalam pemeriksaan ahli perkara nomor 28/PUU-VIII/2010 dan nomor 65/PUU-VIII/2010

[iii] Pasal 1 angka 26 KUHAP mendefinisikan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.  Pasal 1 angka 27 memberikan definisi mengenai keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Pasal 184 ayat 1 menegaskan bahwa keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang sah. Sementara Pasal 65 berbunyi bahwa, ”Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus dan memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya”.

[iv] Inti dari kegiatan penyidikan adalah pengumpulan pengumpulan alat bukti untuk memastikan beberapa hal, di antaranya, menentukan apakah perbuatan yang diperiksa sebagai perbuatan pidana atau bukan perbuatan pidana, menentukan siapa pelaku tindak pidana, seorang diri, bersama-sama dengan pelaku lain, menentukan apakah telah terpenuhinya unsurunsur tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka, menentukan apakah perbuatan yang dilakukan oleh tersangka adalah melawan hukum. Dalam konteks ini keberadaan saksi memainkan peranan yang sangat penting.

[v] Pasal 112 KUHAP

[vi] Pasal 168 KUHAP

[vii] Pasal 112 KUHAP

[viii] Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, 2000, Jakarta, hal. 138-140

[ix] Pasal 5 UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan terhadap Saksi dan Korban

[x] Oleh karena hingga hari ini belum ada UU Bantuan Hukum, maka nasehat hukum hanya bisa diberikan oleh seseorang yang berstatus sebagai Advokat berdasarkan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

[xi] Pasal 35 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman

[xii] Pasal 54 KUHAP

[xiii] Pasal 55 KUHAP

[xiv] Pasal 56 KUHAP

[xv] Pasal 69-74 KUHAP

[xvi] Pasal 73 KUHAP

[xvii] Pasal 115 KUHAP

[xviii] Pasal 123 KUHAP

[xix] Pasal 79 jo. Paasl 124 KUHAP

[xx] Pasal 182 KUHAP

[xxi] Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 41

[xxii] Pasal 5 dan Pasal 6 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

[xxiii] Memang, di dalam pasal 5 ayat (2)  UU No. 13 Tahun 2006 dikatakan bahwa hak mendapatkan nasihat hukum hanya diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK.

 
Tags: