Perjanjian Tidak Berbahasa Indonesia Tetap Sah
Expert Review

Perjanjian Tidak Berbahasa Indonesia Tetap Sah

Tidak adanya perjanjian yang dibuat dalam bahasa Indonesia tidak dapat membatalkan perjanjian yang ditulis dalam bahasa asing/bahasa Inggris. UU Bahasa tidak mengatur akibat hukum apa pun.

Bacaan 9 Menit

Menurut Mahkamah Agung, alasan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi tidak dapat dibenarkan. Pertimbangan hukum putusan judex facti dinilai sudah tepat dan benar, serta tidak salah dalam menerapkan hukum. Pertimbangan dalam putusan kasasi Mahkamah Agung ialah, “Bahwa Penggugat telah berhasil membuktikan kebenaran dalil gugatannya, bahwa berdasarkan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan yang diundangkan pada tanggal 9 Juli 2009 menyebutkan bahwa : ‘Bahasa Indonesia WAJIB digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan Negara, Instansi Pemerintah Republik Indonesia, Lembaga Swasta Indonesia, atau perseorangan WNI’, sebaliknya Tergugat tidak berhasil membuktikan kebenaran dalil bantahannya”.

Tinjauan Lain

Sengketa dalam perkara di atas pada pokoknya didasarkan atas Loan Agreement yang ditulis dalam bahasa Inggris, tanpa bahasa Indonesia. Menurut hemat saya, bisa dinilai dengan tinjauan lain berikut ini.

Pertama, Loan Agreement bertanggal 23 April 2010—yang dibuat oleh dan antara Penggugat (lembaga swasta Indonesia) dengan Tergugat (pihak asing)—hanya ditulis dalam bahasa Inggris. Kedua, perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat— berdasarkan Pasal 31 ayat 2 jo. Penjelasan Pasal 31 ayat 2 UU Bahasa — harusnya dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa nasional Tergugat atau bahasa Inggris, dan semua naskah sama aslinya.

Keberadaan Loan Agreement bertanggal 23 April 2010—perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat yang ditulis dalam bahasa Inggris—telah sesuai dengan Pasal 31 ayat 2 UU Bahasa. Namun, perjanjian yang dibuat dalam bahasa Indonesia tidak/belum ada. Pasal ini memang mewajibkan suatu persyaratan formal tertentu untuk suatu perjanjian—yakni wajib digunakannya bahasa Indonesia dalam perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan warga negara Indonesia—tapi tidak mengatur apa akibat hukum bila tidak dipenuhi.

Sebagai bukti yang diajukan di persidangan pengadilan, Loan Agreement bertanggal 23 April 2010 tersebut harus diterjemahkan lebih dahulu ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah. Selanjutnya, perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat tersebut dinilai keabsahannya menurut empat syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Para pihak tidak mempermasalahkan mengenai syarat-syarat pertama, kedua, dan ketiga dari Pasal 1320 KUHPerdata. Perjanjian tersebut pun sudah dilaksanakan sehingga ketiga syarat tersebut terbukti telah dipenuhi. Perlu diingat bahwa suatu sebab yang halal sebagai syarat keempat—menurut Prof.Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. dan Prof. Subekti, S.H.—adalah isi perjanjian itu sendiri. Syarat keempat telah terpenuhi dengan kenyataan tiada suatu ketentuan undang-undang yang melarang isi perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat. Isinya perjanjian juga tidak bertentangan dengan kesusilaan baik atau bertentangan dengan ketertiban umum.

Jadi, Loan Agreement bertanggal 23 April 2010 terbukti sah. Sesuai dengan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, perjanjian tersebut mengikat Penggugat dan Tergugat seperti undang-undang.

Perlu dicatat tinjauan di atas tidak menerapkan Pasal 26 Perpres Bahasa Indonesia. Hal itu karena Peraturan Presiden tersebut belum ada pada waktu Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Pengadilan Tinggi Jakarta, dan Mahkamah Agung memeriksa dan memutus perkara. Perpres Bahasa Indonesia baru disahkan pada tanggal 30 September 2019.

*)Marianna Sutadi, Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia 2004-2008.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait