Perjanjian Tidak Berbahasa Indonesia Tetap Sah
Expert Review

Perjanjian Tidak Berbahasa Indonesia Tetap Sah

Tidak adanya perjanjian yang dibuat dalam bahasa Indonesia tidak dapat membatalkan perjanjian yang ditulis dalam bahasa asing/bahasa Inggris. UU Bahasa tidak mengatur akibat hukum apa pun.

Bacaan 9 Menit

Oorzaak atau sebab/kausa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan yang menyebabkan adanya persetujuan itu. Makna ini menurut Prof.Dr.Wirjono Prodjodikoro, S.H. dalam bukunya Azas-Azas Hukum Perjanjian. Makna lain dari Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata menyatakan, “Selanjutnya undang-undang menghendaki untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu oorzaak (causa) yang diperbolehkan. Secara letterlijk kata ‘oorzaak’ atau ‘causa’ berarti ‘sebab’, tetapi menurut riwayatnya, yang dimaksudkan dengan kata itu ialah ‘tujuan’, yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian itu....Dengan kata lain, causa berarti : isi perjanjian itu sendiri”.

Syarat pertama dan kedua dari Pasal 1320 KUHPerdata merupakan persyaratan bagi subjek perjanjian, yakni pihak-pihak yang membuat perjanjian. Syarat-syarat itu disebut dengan syarat subjektif. Apabila salah satu dari syarat tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian dapat dimintakan batal (vernietigbaar) ke Pengadilan. Perjanjian menjadi batal sejak dinyatakan batal oleh Hakim (ex nunc).

Syarat ketiga dan keempat dari Pasal 1320 KUHPerdata merupakan persyaratan untuk objeknya, yaitu perjanjian itu sendiri. Syarat-syarat tersebut disebut syarat objektif. Apabila salah satu dari syarat tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian dimaksud batal demi hukum (van rechtswege nietig). Kebatalannya berlaku sejak semula (ex tunc) seperti tidak pernah ada perjanjian.

Bahasa Indonesia dalam Perjanjian

Pasal 31 UU No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa) menyatakan, “(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan warga negara Indonesia; (2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris”.

Pasal ini mewajibkan digunakannya bahasa Indonesia dalam perjanjian yang melibatkan pihak Indonesia. Di sisi lain, bahasa nasional dari pihak asing atau bahasa Inggris juga digunakan. Maka, perjanjian yang melibatkan pihak Indonesia dan pihak asing—menurut Pasal 31 ayat 2 UU Bahasa—harus dibuat/ditulis dalam bahasa Indonesia dan juga dalam bahasa asing/bahasa Inggris. Semua naskah perjanjian tersebut sama aslinya seperti Penjelasan Pasal 31 ayat 2 UU Bahasa, “Dalam perjanjian bilateral, naskah perjanjian ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa nasional negara lain tersebut, dan/atau bahasa Inggris, dan semua naskah itu sama aslinya”.

Kewajiban menggunakan bahasa Indonesia dalam suatu perjanjian tertulis itu merupakan penyimpangan dari asas kebebasan berkontrak yang dimaksud Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata. Namun, apa akibat hukumnya apabila ketentuan dalam Pasal 31 UU Bahasa tidak dipenuhi? Penulis menilai tidak adanya perjanjian yang dibuat dalam bahasa Indonesia tidak dapat membatalkan perjanjian yang ditulis dalam bahasa asing/bahasa Inggris.

Tidak ada satu ketentuan pun dalam UU Bahasa yang mengaturnya. Pendapat ini jelas terlihat dari kalimat terakhir pada Penjelasan Umum UU Bahasa, “Undang-Undang ini mengatur tentang berbagai hal yang terkait dengan penetapan dan tata cara penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan, termasuk di dalamnya diatur tentang ketentuan pidana bagi siapa saja yang secara sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang ini”.

Tags:

Berita Terkait