MPR dan DPRAncaman Baru Bagi Kekuasaan Kehakiman?
Kolom

MPR dan DPRAncaman Baru Bagi Kekuasaan Kehakiman?

Masalah independensi kekuasaan kehakiman memasuki babak baru. Sebelumnya, ancaman terhadap kemandirian kekuasaan kehakiman lebih disebabkan karena peluang intervensi terhadap peradilan oleh pihak eksekutif (dan sebenarnya juga dilakukan oleh yudikatif –Mahkamah Agung). Kini dengan adanya perubahan situasi politik Indonesia pada tahun-tahun belakangan ini, ancaman tersebut juga datang dari lembaga legislatif atau lebih luas pada lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR).

Bacaan 2 Menit

Partisipasi masyarakat yang dicoba untuk dilakukan, terkesan hanya kosmetik belaka mengingat waktu partisipasi yang terlalu pendek dan hasil partisipasi masyarakat tidak digunakan secara maksimal. Tidak ada pertanggungjawaban kepada publik, mengapa DPR akhirnya merekomendasikan nama-nama tertentu kepada Presiden.

Permainan politik semakin terlihat dari pertanyaan dan penilaian anggota DPR dalam proses tersebut. Anggota DPR yang mendukung calon tersebut terlihat jelas mengajukan pertanyaan untuk mengatrol calonnya. Penilaian yang diberikan anggota DPR (dalam hal ini komisi II) terhadap para calon menunjukkan bahwa pertimbangan utama untuk menilai adalah preferensi politik, dan bukan kriteria yang objektif. Misalnya, calon yang memiliki visi dan misi yang baik, diberi nilai terendah oleh anggota DPR yang memiliki calon lain dan sebaliknya.

Calon yang berdasarkan laporan masyarakat menunjukkan integritas yang kurang (dan dalam proses seleksi terdahulu mendapat nilai terendah) diberi nilai tertinggi, tanpa argumentasi yang melegakan hati. Fraksi yang gagal memasukan jagonya, memboikot proses pemilihan dengan dasar alasan yang dibuat-buat. Belum lagi menilai, bagaimana anggota DPR memaksa Presiden memilih calon yang diunggulkan, walau dengan argumentasi yang tidak sesuai dengan UU. Dan masih banyak lagi. 

Penolakan atas gagasan Komisi Yudisial

Aturan internasional tidak melarang (walau tidak merekomendasikan) pemilihan hakim (termasuk hakim agung) oleh eksekutif dan atau legislatif, selama dilakukan oleh judicial body yang mayoritas anggotanya adalah hakim dan profesi hukum.

Bahkan, ketidakadaan judicial body masih dianggap tidak bertentangan dengan indepedence of the judiciary selama tradisi perekrutan selama ini berjalan memuaskan. Beijing Statement of Principles of the Indepedence of the Judiciary secara ekplisit menyatakan bahwa di sebagian besar negara, pemilihan hakim dengan persetujuan atau konsultasi dari Judicial Service Commission menunjukkan hasil yang memuaskan. 

Jika melihat praktek pengangkatan hakim (termasuk hakim agung) selama ini di Indonesia, kiranya kita dapat menyatakan bahwa proses pengangkatan hakim (dan hakim agung) sampai saat ini masih belum memuaskan. Karena itu, keberadaan Judicial Body, Judicial Service Commission atau apapun namanya, menjadi penting untuk memastikan bahwa hanya mereka yang kompeten, indepeden, dan memiliki integritas baiklah, yang dapat diangkat menjadi hakim.

Namun sayangnya, kemungkinan untuk memiliki badan semacan itu masih sangat sulit diharapkan. Dan hambatan terbesar adalah dari keengganan DPR untuk melegitimasi keberadaan lembaga tersebut dalam UU. Suatu ilustrasi yang sangat jelas menggambarkan hal ini adalah saat proses fit and proper test hakim agung pada Juli 2000 lalu.

Halaman Selanjutnya:
Tags: