MPR dan DPRAncaman Baru Bagi Kekuasaan Kehakiman?
Kolom

MPR dan DPRAncaman Baru Bagi Kekuasaan Kehakiman?

Masalah independensi kekuasaan kehakiman memasuki babak baru. Sebelumnya, ancaman terhadap kemandirian kekuasaan kehakiman lebih disebabkan karena peluang intervensi terhadap peradilan oleh pihak eksekutif (dan sebenarnya juga dilakukan oleh yudikatif –Mahkamah Agung). Kini dengan adanya perubahan situasi politik Indonesia pada tahun-tahun belakangan ini, ancaman tersebut juga datang dari lembaga legislatif atau lebih luas pada lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR).

Bacaan 2 Menit

Banyak calon hakim agung yang mengikuti fit and proper test menggagas pentingnya lembaga Komisi Yusidial untuk melakukan proses seleksi atau pemilihan terhadap hakim dan hakim agung. Namun sebagian besar anggota DPR Komisi II yang pada waktu itu melakukan proses seleksi, mencecar habis mereka.

Bahkan sepanjang ingatan penulis, ada seorang calon hakim agung dari 10 pertanyaan yang diajukan kepadanya, 8 di antaranya adalah pertanyaan yang mendebat (atau membantai) misinya tentang pentingnya keberadaan Komisi Yudisial. Hal ini mudah dipahami karena bila konsep Komisi Yudusial ini diterima, maka lahan DPR untuk menyeleksi hakim agung akan berkurang atau bahkan hilang.

Memperhatikan hal-hal di atas, jelas bahwa masih panjang perjalanan bangsa ini untuk memiliki sistem yang demokratis dan terutama kekuasaan kehakiman yang independen, imparsial, dan kompeten. Karena itu, peran civil society, apakah itu masyarakat umum, Organisasi Non Pemerintah, media massa, atau organisasi profesi pengacara/advokat, menjadi sangat krusial. Kita lah yang harus berjuang untuk menjadikan peradilan yang kita idamkan tidak sebatas menjadi harapan.

 

Rifqi Sjarief Assegaf adalah Sekretaris Eksekutif LeIP (Lembaga Kajian dan Advokasi  untuk Independensi Peradilan)

 

Tags: