MPR dan DPRAncaman Baru Bagi Kekuasaan Kehakiman?
Kolom

MPR dan DPRAncaman Baru Bagi Kekuasaan Kehakiman?

Masalah independensi kekuasaan kehakiman memasuki babak baru. Sebelumnya, ancaman terhadap kemandirian kekuasaan kehakiman lebih disebabkan karena peluang intervensi terhadap peradilan oleh pihak eksekutif (dan sebenarnya juga dilakukan oleh yudikatif –Mahkamah Agung). Kini dengan adanya perubahan situasi politik Indonesia pada tahun-tahun belakangan ini, ancaman tersebut juga datang dari lembaga legislatif atau lebih luas pada lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR).

Bacaan 2 Menit

Laporan lembaga negara kepada MPR

Dalam GBHN 1999 Bab V tentang Kaidah Pelaksanaan, butir ke-3 dinyatakan bahwa semua lembaga tinggi negara (termasuk MA) berkewajiban menyampaikan laporan pelaksanaan GBHN dalam Sidang Tahunan MPR. Kewenangan MPR tersebut kemudian diperkuat dengan Tap MPR No. II/MPR/1999 Tahun 1999 tentang Taat Tertib MPR yang diubah dengan Tap MPR No. I/MPR/2000. Dengan Tap tersebut, MPR bukan saja memiliki kewenangan untuk memperoleh laporan pelaksanaan GBHN, tetapi juga berwenang menilai laporan tersebut.

Memang selama ini, MA tidak pernah diwajibkan untuk membuat laporan pertanggungjawaban ke mana pun. Konsekuensi dari tidak adanya akuntabilitas, MA dapat berbuat apa saja tanpa harus merasa diawasi, ditambah dengan budaya ketertutupannya selama ini. Hal ini jelas mengandung potensi bahaya. Apalagi dengan akan dialihkannya seluruh kewenangan pembinaan dan pengawasan terhadap hakim kepada MA berdasarkan UU No. 35 Tahun 1999.

Pada dasarnya, prinsip akuntabilitas menghendaki setiap pelaksanaan kekuasaan –sesuai dengan lingkupnya- dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini penting untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Namun pertanggungjawaban badan peradilan, sebagai badan pelaksana kekuasan kehakiman, mempunyai karakteristik yang berbeda. Pertanggungjawabannya sepatutnya tidak diberikan kepada lembaga politik (misalnya MPR), tetapi kepada Tuhan, hukum, hati nurani, dan terutama langsung pada publik.

Dengan adanya pertanggungjawaban ke publik, di satu sisi asas akuntabilitas dapat terpenuhi. Namun di sisi lain, potensi intervensi dan ancaman dari sudut politis (oleh MPR) terhadap pelaksanaan fungsi yudikatif dapat diminimalisasi atau dihindari. Dengan adanya pertanggungjawaban kepada publik, pertanggungjawaban tidak lagi bersifat struktural. Dengan demikian, tidak menempatkan MA secara hierarkis berada di bawah lembaga negara lain.

Seharusnya yang menjadi agenda penting MPR dan DPR untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan adalah menciptakan sistem keuangan, administrasi, rekruitmen, promosi, pengawasan, serta penindakan yang lebih baik. Sistem yang baik, yaitu dengan mengubah UU yang relevan untuk mengedepankan prinsip-prinsip transparansi, partisipatif, kompetensi (merit), indepedensi, dan imparsialitas dalam seluruh aspek di atas.

Pemilihan hakim agung dan Ketua serta Wakil Ketua MA

Bentuk intervensi paling kental yang dilakukan oleh DPR terhadap lembaga kehakiman adalah melalui kewenangannya untuk menyeleksi hakim agung, terutama Ketua serta Wakil Ketua MA. Intervensi ini tentunya dimaksudkan agar calon yang didukung oleh partai-partai dalam DPR  dapat memperjuangkan kepentingan partai bila ia kelak terpilih menjadi hakim agung atau Ketua/Wakil Ketua di MA.

Prinsip-prinsip seleksi yang transparan, partisipatif, based on merit, dan accountable dilanggar oleh DPR. Transparansi yang ada dalam proses seleksi dibuat secara tanggung, sehingga proses yang krusial yaitu yang menyangkup aspek integritas calon, dibuat secara tertutup.

Tags: