Mencari Format Peradilan yang Independen dan Tak Memihak
Kolom

Mencari Format Peradilan yang Independen dan Tak Memihak

Mungkinkah hal itu dilakukan dengan bertolak pangkal dari doktrin hukum yang klasik mengenai kepastian hukum dan kenetralan hukum?

Bacaan 2 Menit

Dalam kenyataan seperti itu, hukum dan hakim akan kehilangan otonominya.  Hukum dan hakim akan terkooptasi ke dalam struktur kepentingan yang telah mapan dan berkedudukan kuat dalam ranah politik, dan secara cepat atau lambat akan mendapatkan dirinya berada dalam fungsinya yang justru represif.  Permasalahan tarik-ulur dalam pengangkatan Ketua Mahkamah Agung dewasa ini dapat menjelaskan kenyataan yang secara politik amat pragmatik ini (tidak dari perspektif doktrin akan kenetralan hukum), yang sekaligus mencerminkan betapa besar kepentingan politik kelas mapan untuk mempertahankan kemapanannya

Boleh disimpulkan bahwa legalisme yang positivistis, dengan ajaran hukum murni yang hendak menetralkan fungsi hukum, ternyata sangat disfungsional untuk diterapkan di negeri-negeri berkembang.  Mereaksi kenyataan seperti itu, tergugahlah ide-ide alternatif yang menyarankan agar bukan doktrin positivisme kaum liberal ortodox penganut laissez-faire liberalism tentang kepastian hukum yang harusnya difungsikan di sini.   Sebagai gantinya, pernah diutarakan untuk mempertimbangkan doktrin utilitarianisme tentang kemanfaatan hukum untuk menyelesaikan (bukan sekadar memutus) perkara. 

Sociological jurisprudence

Bukan logika hukum para yuris elite yang beroptik normatif saja yang terutama harus berbicara di sini, akan tetapi terutama juga kearifan para pembuat hukum, baik yang duduk di badan-badan legislatif (sebagai pembuat undang-undang alias hukum in abstracto) maupun yang duduk di kursi-kursi sidang pengadilan (sebagai hakim, pembuat hukum in concreto).  Bukan positivisme dan legalisme yang diperlukan di sini, melainkan apa yang di Amerika disebut realisme hukum berikut perkembangannya yang dikenal sebagai ajaran sociological jurisprudence.

Di sini bukan good law yang sebenarnya paling diharapkan, melainkan good man.  Ialah manusia arif dan bijaksana yang tahu bagaimana mendayakan hukum guna meres-pons kebutuhan masyarakat warga, khususnya mereka yang masih terpuruk di dalam derita kesenjangan yang sungguh diskriminatif. 

Di tangan dan ditangani good man--baik yang duduk di kursi-kursi badan legislatif maupun di kursi-kursi badan pengadilan--maka hukum itu, in abstracto maupun in concreto, akan nyata terbilang 'hukum yang responsif' dengan fungsinya sebagai pelindung hak-hak asasi manusia-manusia warganegara. Bukan lagi terbilang 'hukum yang represif' dengan fungsinya yang utama untuk melegitimasi secara berterusan kekuasaan negara yang disenarai secara enumeratif.

Persoalannya sekarang: bagaimana membibit good man yang tak hanya cerdas dan berintelektual tinggi akan tetapi juga berkeberanian moral yang terpuji.  Lewat proses pendidikan?  Bukankah pendidikan itu adalah suatu front dalam suatu battle of the mind, yang -- sekalipun hasil ketentuannya harus ditunggu dalam rentang waktu yang agak panjang -- bagaimanapun juga merupakan suatu bagian dari suatu reformasi atau revolusi yang paling berbudaya, dan yang oleh sebab itu pula (karena "hanya" berpeluru informasi pembangun sikap dan komitmen) juga paling tidak berdarah. 

Realistiskah proses jangka panjang ini untuk menghadapi masalah tiadanya tertib hukum yang sudah telanjur demikian akut di negeri ini.  Realistiskah harapan ini, sedang tak kurang dari calon Ketua Mahkamah Agung (yang telah bertahun-tahun bergelut sebagai profesor di bidang pendidikan hukum!) itu sendiri pernah mengatakan sebagai suatu excuse mengenai kekurangan dirinya, bahwa hanya malaikat saja yang di negeri ini bisa mencapai taraf kesempurnaan untuk menjadi hakim.

Halaman Selanjutnya:
Tags: