Mencari Format Peradilan yang Independen dan Tak Memihak
Kolom

Mencari Format Peradilan yang Independen dan Tak Memihak

Mungkinkah hal itu dilakukan dengan bertolak pangkal dari doktrin hukum yang klasik mengenai kepastian hukum dan kenetralan hukum?

Bacaan 2 Menit

Di sini kerja hukum dan hakim,  dalam kenyataannya pun sering berefek membiarkan (bertolak dari dalih "harus netral") terjadinya berbagai kesenjangan, yang satu memperoleh lebih, sedangkan yang lain--umumnya jumlahnya justru massal-- memperoleh kurang.  Pembagian hak dan kewajiban antara buruh dan majikan, misalnya, acapkali tak memperlihatkan keseimbangan sebagaimana diharapkan.  Tengok misalnya, yang pernah terjadi di masa Orde Baru yang baru lalu, tatkala undang-undang perburuhan dibuat oleh anggota-anggota DPR yang amat didominasi oleh suara-suara konglomerat, diprakarsai oleh seorang menteri yang nota bene seorang saudagar besar pemilik Pasar Raya, sedangkan suara buruh tak tampak terwakili sehingga terdengar lirih-lirih saja.

Walhasil terjejas situasi seperti itu, masyarakat yang ada akan gagal berkembang menjadi masyarakat warga.  Masyarakat tetap saja merupakan masyarakat yang berstratum-stratum, atau menjadi terstratum-stratum kembali.  Kenyataannya, hanya sejumlah warga elit yang selalu memperoleh peluang mendahulu untuk kian memapankan diri, sedangkan sejumlah warga yang lain kian terdiskriminasi oleh keadaan. 

Hukum yang dalam konsepnya sebagai hasil kesepakatan warga, tidak selamanya dapat memberikan perlindungan kepentingan secara berimbang.  Mereka yang lemah secara ekonomi, politik, sosial ataupun budaya, akan selalu tertodong kewajiban hukum daripada terbela oleh hak-hak.  Sementara itu, mereka yang berposisi diuntungkan selalu saja terkesan gampang memperoleh hak dan sumberdaya institusional guna menegakkan hak-haknya.

Dapat dimengerti mengapa dalam keadaan seperti itu legalisme dengan doktrin kepastian hukum akan lebih melindungi dan kian memapankan mereka yang memiliki kelebihan dana, informasi dan akses politik daripada mereka yang tak berkeadaan demikian.  Dapat dimengerti pula mengapa kehendak untuk "berhukum-hukum" dengan pilihan kuat untuk menyelesaikan segala perkara konflik ke pengadilan, dan/atau dengan cara mempercayakan kepada para pejabat administratif yang berwenang membuat keputusan (atas dasar hukum in abstracto dan/atau diskresi-diskresi), selalu saja lebih banyak berasal dari mereka yang mapan dan kaya akses itu.

Dengan struktur yang banyak memberikan akses kepadanya, kelompok mapan ini tentu saja berpamrih untuk terlestarikannya status quo, dan hukum yang didoktrinkan netral dan berkepastian dapat didayagunakan untuk maksud itu.

Akses politik kaum mapan ini pada gilirannya juga akan dapat kian didayagunakan untuk menambahkan hak-hak bagi dirinya dan untuk membebankan kewajiban-kewajiban kepada mereka yang dikucilkan di luar sistem.  Salah-salah, asas rule of law dalam praktik tanpa dapat dielakkan lagi menjadi tersimak sebagai the ruling by the ruler by (ab)using the law.

Legalisme tak lagi tampil sebagai ide dan ideologi revolusioner yang secara progresif akan mengilhami setiap upaya perubahan ke arah kehidupan yang lebih egalitarian.  Alih-alih begitu, legalisme serta merta akan bersosok konservatif dengan kebijakan-kebijakannya yang kolot untuk mempertahankan dan mengendalikan kemapanan struktur demi kelanggengan kepentingan para penguasa yang relatif eksklusif dan penuh priveleges. 

Tags: