Mencari Format Peradilan yang Independen dan Tak Memihak
Kolom

Mencari Format Peradilan yang Independen dan Tak Memihak

Mungkinkah hal itu dilakukan dengan bertolak pangkal dari doktrin hukum yang klasik mengenai kepastian hukum dan kenetralan hukum?

Bacaan 2 Menit

Falsafah hukum beraliran positivisme yang diimplementasikan ke dalam ajaran hukum murni, berikut doktrin kepastian hukum yang amat disyaratkan dalam praktek itu, membawa konsekuensi lebih lanjut dalam soal mengkonsepkan hukum dan fungsi hukum dalam masyarakat yang nota bene penuh konflik tetapi mendambakan ketertiban itu.  Arahan falsafati dan ajaran hukum murni dengan doktrin kepastian hukumnya itu (secara ringkas acap pula disebut paham legalisme) memodelkan hukum sebagai institusi sentral yang netral. 

Hukum adalah hasil kesepakatan warga masyarakat, entah kesepakatan di ranah privat yang langsung antar-person (disebut 'kontrak'), entah pula kesepakatan di ranah publik antar-kelompok atau kesesatan). Maka, isi hukum tidaklah akan berat sebelah dan tidak sekali-kali akan mengesankan akan memihak kepentingan sepihak.  Dalam pelaksanaannya pun, isi hukum itu tidak boleh ditafsirkan oleh seseorang yang memihak untuk menguntungkan satu pihak atas kerugian pihak yang lain.

Tak cuma dalam hal mengartikan isi hukum, dalam perilakunya -- direpresentasikan dan dipersonifikasikan dalam sosok seseorang manusia terpilih yang disebut kadi atau yang di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan 'hakim' -- hukum itu juga harus tak memihak atau tidak boleh berat sebelah.  Hakim bukanlah pihak yang ikut bersepakat atau terlibat dalam kesepakatan (tatkala kontrak atau undang-undang dibuat), serta pula tak ikut berperkara atau terlibat dalam perkara (tatkala perkara tengah ditangani pengadilan).  Hakim bukanlah pembuat hukum berdasarkan kehendaknya yang subjektif, melainkan hanya pekerja yang mencoba menemukan hukum yang ada untuk menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.

Menurut paham legalisme ini hukum harus lurus dan benar (recht moet recht zijn kata orang Belanda), sedangkan sang hakim (de rechter dalam Bahasa Belanda) karena itu juga harus selalu berjalan lurus, menuruti imperativa substantif isi hukum. Hakim itu harus selalu siap untuk "cuma" berperan sebagai -- demikian kata Montesquieu: la bouche que prononce les paroles des lois (sebatas mulut yang membunyikan kata-kata undang-undang) semata.  

Doktrin kepastian hukum

Doktrin kepastian hukum sebagai anak ajaran legalisme dari mazhab hukum murni -- dan yang mengagungkan rasionalisme dalam kajian hukum dan praktik peradilan itu--adalah doktrin dan ajaran yang berkembang dan didukung para penganut pada suatu era tatkala proses demokratisasi tengah berlangsung, dengan cita-cita bahwa kekuasaan negara harus bisa dibatasi dan dikontrol oleh hukum.

Negara harus dikonstruksi sebagai 'negara hukum' dan bukan 'negara kekuasaan'.  Infrastruktur negara hukum tak pelak lagi adalah masyarakat warga (civil society), dan bukan masyarakat yang mengenal dikotomi kawula-Gusti.  Di tengah-tengah kehidupan masyarakat warga yang demikian, sekelompok orang elite tidak akan mungkin didewa-dewakan dan diistimewakan mengatasi yang lain. Sementara yang lain dalam jumlah massal tidak boleh diperkuda serta dipinggir-pinggirkan.  Setiap manusia yang warga itu harus diakui berkedudukan sama di hadapan hukum dan hakim. 

Namun, apa yang dicita-citakan bahwasannya "setiap warga negara berkedudukan sama di hadapan hukum dan kekuasaan" nyata sekali bukan kenyataan dan tidak selamanya dapat direalisasi.  Apa yang telah diperikan di dalam cita-cita dan konsep normatif  tidak selalu merupakan deskripsi tentang temuan dalam pengalaman nyata di lapangan.  Dalam realitas kehidupan yang sudah bersifat serba kontraktual ini, kesepakatan-kesepakatan antar-pihak tak selamanya mencerminkan perlindungan kepentingan yang berimbang.

Halaman Selanjutnya:
Tags: