Mempersoalkan Hak Berserikat Advokat
Kolom

Mempersoalkan Hak Berserikat Advokat

Konflik internal antar organisasi profesi advokat membawa kerugian bagi upaya penegakan hukum secara keseluruhan.

Bacaan 2 Menit

 

Butir 97 Signhvi Declaration:

“97. There may be established in each jurisdiction one or more independent and self-governing associations of lawyersrecognized in law, whose council or other executive body shall be freely elected by all the members without interference of any kind by any other body or person. This shall be without prejudice to their right to form or join in addition other professional associations of lawyers and jurists.”

 

Ketiga instrumen internasional tadi mengatur kebebasan advokat (lawyer) berserikat yang beda dengan penegak hukum karena advokat (lawyer) tidak mempunyai kewenangan  menahan (right to detain) atau lebih dikenal dengan “police power”, yang menurut Pasal 1 United Nations Code of Conduct for Law Enforcement Officials 1979, dinyatakan sebagai berikut:

 

(a) The term “law enforcement officials”, includes all officers of the law, whether appointed or elected, who exercise police powers, especially the powers of arrest or detention.”

 

Hal berserikat advokat yang khusus tersebut juga didukung oleh pernyataan International Commission of Jurists yang menyatakan bahwa:

 

As is the case with judges, freedom of expression and association constitute essential requirements for the proper functioning of the legal profession. Although these freedoms are enjoyed by all persons, they acquire specific importance in the case of persons involved in the administration of justice.

 

Inilah kekeliruan fundamental yang dibuat UU Advokat khususnya dalam pasal 5 ayat (1) UU Advokat yang mengakui advokat sebagai penegak hukum. Persoalan ini berakibat jauh kepada profesi advokat yang antara lain dipersatukan dalam satu organisasi  lebih dikenal sebagai wadah tunggal (single bar association) seperti polisi, jaksa dan hakim. Ide wadah tunggal itu sendiri datang dari pemerintah Orba yang korporatis dan ingin melihat hanya ada satu organsiasi seperti buruh, wartawaan, Advokat, dll agar mudah diawasi dan dikontrol.

 

Tentunya ini bertentangan dengan hak berserikat yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan khususnya hak berserikat advokat yang secara lex spesialis diatur dalam 3 (tiga) instrumen yang disebutkan tadi. Memang benar adanya bahwa hak berserikat dapat dibatasi karena hak tersebut bukanlah hak yang tidak dapat ditunda (derogable rights), namun demikian, instrumen internasional secara jelas menyatakan bahwa pembatasan hak untuk berserikat ini hanya dapat dilakukan semata-mata dalam hal negara berada dalam keadaan darurat (state of emergency). Jika ditinjau berdasarkan doktrin margin of appreciation yang memang memungkinkan negara untuk melakukan pembatasan atas hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak berserikat, pembatasan tersebut hanya dapat dilakukan setelah mempertimbangkan kondisi sosial, budaya dan sejarah dari negara tersebut yang tentunya berbeda dengan negara lain. Realita sosial ini yang perlu diperhatikan oleh hakim nasional yang dianggap paling tahu, sebagaimana termaktub dalam putusan Mahkamah Agung Kanada dalam perkara R. v. R.D.S., [1997]. No. 84, pada tahun 1997, dimana dinyatakan bahwa hakim haruslah sensitif mengenai isu-isu sosial yang mempengaruhi masyarakat dan Margin of Appreciation harus dihindarkan apabila tidak diperlukan benar, karena berpotensi melanggar hak asasi manusia.

Tags: