Membaca Muatan dan Implikasi Permenaker Outsourcing
Kolom

Membaca Muatan dan Implikasi Permenaker Outsourcing

Masih banyak celah hukum. Pekerja dan pengusaha punya hak yang sama untuk mengujinya ke MA.

Bacaan 2 Menit

Yang dibutuhkan pengusaha dan pekerja/buruh adalah regulasi yang bisa menjamin kelangsungan bekerja dan ketertiban berusaha. Daripada sibuk mengurus pencabutan ijin operasional, lebih baik pemerintah membuka dasar hukum yang tegas mewajibkan PPJP/B membayar kompensasi pengakhiran PKWT kepada pekerja/buruh outsourcing. Pemerintah sebaiknya tidak menghambat perusahaan user dan PPJP/B memberi kompensasi kepada pekerja/buruh outsourcing. Praktik pemberian kompensasi kepada pekerja/buruh outsourcing yangberakhir PKWT–sampai saat ini masih berlangsung di sektor pertambangan dan minyak.  

D.           Badan Hukum
Perusahaan yang dapat menerima pemborongan pekerjaan adalah perusahaan berbadan hukum. Yang digolongkan ke dalam badan hukum adalah perseroan terbatas (PT), yayasan dan koperasi. Permenaker tidak menyebut PT sebagaisatu-satunya perusahaan yang boleh bertindak sebagai pemborong pekerjaan. Artinya, koperasi, yayasan dan PT dapat bertindak sebagai penerima atau pemborong pekerjaan.

Selanjutnya Pasal 24 mensyaratkan, perusahaan yang dapat bertindak sebagaai PPJP/B adalah perusahaan berbentuk perseroan terbatas (PT). Maka, koperasi, yayasan, firma, CV tidak boleh bertindak sebagai PPJP/B. Apabila PPJP/B bukan PT, hubungan kerja pekerja/buruh outsourcing - berdasarkan Pasal 66 ayat (3) dan ayat (4) UU Ketenagakerjaan- beralih ke perusahaan user.

E.            Pembatasan Jenis Kegiatan Jasa Penunjang
Permenaker menetapkan lima macam kegiatan jasa penunjang, antara lain : (1) usaha pelayanan kebersihan (cleaning service); (2) usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering); (3) usaha tenaga pengamanan (security/satuan pengamanan); (4) usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan (5) usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.

Pembatasan itu sejak awal sudah diatur dalam Pasal 66 UU Ketenagakerjaan. Keberatan pengusaha atas pembatasan limabidang kegiatan jasa penunjang di atas muncul karena menggunakan penafsiran sejarah pembentukan UU Ketenagakerjaan. Pembatasan lima bidang jasa penunjang di atas secara gramatikal sudah baku. Kata ‘antara lain’dalam penjelasan Pasal 66 UU Ketenagakerjaanbersifat pasti dan terbatas pada apa yang disebut secara tegas dalam penjelasan itu.  

Permenaker memberi dua alternatif bentuk hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan PPJP/B, yaitu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan PPJP/B selama ini dominan menggunakan PKWT. Bahkan, Permenaker tidak menjamin pekerja/buruh outsourcing akan semakin banyak bekerja dalam bingkai PKWTT. Permenaker tidak mengatur kewajiban perusahaan PJP/B memberi kompensasi uang bagi pekerja/buruh outsourcing saat berakhir PKWT. Permenaker terbaru memastikan, dominasi PKWT dalam PPJP/B tidak akan berkurang. Karena itu semangat Permenaker ini lebih rendah dari hukum yang terdapat dalam putusan MK.

F.            Masa Berlaku  Permenakertrans
Permenaker ini diundangkan pada19 November 2012. Dalam ketentuan penutup,Kemenakertrans memberi kesempatan kepada perusahaan pemberi pekerjaan, perusahaan penerima pemborongan atau PPJP/B menyesuaikan diri dengan ketentuan yang terdapat dalam Permenaker paling lambat 12 bulan. Perusahaan pemborong pekerjaan atau PPJP/B yang tidak menyesuaikan perjanjian kerja dengan Permenaker tetap bertanggung jawab memenuhi hak pekerja/buruh yang diperjanjikan.

Ketentuan peralihan dalam Permenaker sejatinya ditujukan kepada perusahaan penyedia pekerjaan, perusahaan pemborong pekerjaan atau PPJP/B yang sedang terikat hubungan kerja pemborongan dan PJP/B pada saat Permenaker diberlakukan. Ketentuan peralihan dalam Pasal 34 ayat (1) tidak secara eksplisit ditujukan kepada perjanjian pemborongan dan PPJP/B yang sedang berjalan, sehingga ketentuan peralihan yang terdapat dalam Pasal 34 sasaran pengaturannya bersifat abstrak.     

G.           Resistensi Pengusaha dan Pekerja/buruh
Pengusaha menolak Permenaker, sedangkan serikat pekerja/serikat buruh asyik mengkaji kemanfaatannya sambil menggerutu. Pengusaha secara terbuka mengutarakan niat mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA).

Oleh karena itu, pengusaha dan pekerja/buruh bila mengacu pada UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangandan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman memiliki hak yang sama untuk‘menggugat’Permenaker melalui MA. Materi pengujian yang dimohonkan bisa membatalkan sebagian  atau seluruh isi peraturan yang diuji.        

Pembatasan lima jenis kegiatan jasa penunjang – pada satu sisi -pengusaha menganggap - hal itu akan menambah jumlah pengangguran. Di sisi lain, pekerja menganggap, outsourcing tenaga kerja tetap merugikan pekerja/buruh.

Bila kedua asumsi itu benar, urusan outsourcing bukan lagi sekedar masalah hukum tetapi tergolong masalah kemanusiaan. Satjipto Rahardjo menulis, bernegara hukum adalah suatu pekerjaan total dan tidak hanya berhubungan dengan urusan hukum semata. Dari permasalahan hukum dan kemanusiaan, Sadjipto Rahardjo menekankan, penyelesaian utama pada problem kemanusiaan (Satjipto Rahardjo, 2009 : 105).  

Sebagai fasilitator dan regulator, pemerintah harus bertindak proaktif dan bertindak adil menyelesaikan sengketa yang mendera pekerja/buruh dan pengusaha. Masalah outsourcing yang muncul ke publik merupakan masalah bangsa berdimensi nasional.

Praktik outsourcing selama ini ditengarai mengabaikan aspek keadilan sosial. Mochtar Kusumaatmadja menulis, “asas keadilan sosial mengamanatkan bahwa semua warga negara mempunyai hak yang sama dan bahwa semua orang sama di hadapan hukum” (Mochtar Kusumaatmadja, 2006 : 188). Untuk mewujudkan cita-cita itu, Satjipto Rahardjo mengatakan, pemangku jabatan publik dalam negara hukum harus membahagiakan rakyatnya (Satjipto Rahardjo, ibid).  

*) Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis.

Tags: