Masalah dalam Penerapan UU Pelayaran
Kolom

Masalah dalam Penerapan UU Pelayaran

Pemerintah masih tetap saja menerapkan Dispensasi Syarat Bendera yang menimbulkan pungutan liar berjemaah pada Departemen dan Direktorat Jenderal.

Bacaan 2 Menit

 

Contoh lain seperti kapal penyeberangan kapal pengangkut penumpang dari Pare-Pare ke Samarinda. Sesuai yang ditulis oleh salah satu Dosen Fakultas Perkapalan UNHAS Ir. Ganding Sitepu, bahwa kapal KM Teratai Prima tersebut digunakan tanpa surat-surat laik-laut. Buktinya tidak terdaftar dalam Buku Register BKI (Biro Klasifikasi Indonesia). Kapal itu terbalik dan tenggelam di perairan Majene pada tgl 11 Januari 2009 dan memakan korban jiwa lebih dari 300 orang penumpang dan awak kapal.

 

Berita yang dimuat di harian Kompas pada 24 Februari 2011 melaporkan bahwa hampir semua kapal penyeberangan hasil modifikasi kapal-kapal ikan yang digunakan mengangkut penumpang dari Tanjung Priok ke Kepulauan Seribu selama 10 tahun terakhir sampai hari ini tidak memilik surat kelayakan dan masih banyak lagi.

 

Dari kenyataan seperti yang ditulis di atas, Indonesia yang sangat berkepentingan dengan UNCLOS 1982 dan IMO Conventions dimana Indonesia telah diakui secara Internasional sebagai Negara Kepulauan. IMO Conventions yang sudah diratifikasi oleh Indonesia sebagai standar kelaiklautan kapal melakukan persaingan dapat digunakan sebagai dasar untuk membuat peraturan menjaga keselamatan, keamanan dan perlindungan lingkungan pelayaran. Namun, sangat disayangkan sampai sekarang Pemerintah belum serius menggunakan kemudahan yang telah disepakati bersama oleh negara-negara anggota IMO antara lain mengizinkan perusahaan niaga Nasional memiliki kapal (Bendera Kemudahan).

 

Kalau ditelusuri kembali sejarah peraturan pelayaran di Indonesia mulai dari UU Pelayaran pertama No 21 Tahun 1992, INPRES No 5 tahun 2005, dan usaha penyempurnaannya dalam UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan Peraturan-Peraturan Pemerintah, semua mengharuskan kapal-kapal niaga nasional bersaing menggunakan bendera Indonesia. Akibatnya, perusahaan pelayaran nasional tidak bisa bersaing secara sehat dengan perusahaan pelayaran asing yang dari semula bebas menggunakan kapal yang ber-Bendera Kemudahan.

 

Pemerintah masih tetap saja menerapkan Dispensasi Syarat Bendera yang menimbulkan pungutan liar berjemaah pada Departemen dan Direktorat Jenderal yang merasa berkepentingan ikut membela pemakaian bendera Nasional.

 

Ternyata, sampai sekarang tidak bisa menjadikan perusahan pelayaran nasional sebagai tuan di negara sendiri tetap saja kapal perusahaan asing yang ber-Bendera Kemudahan mendominasi kegiatan mengangkut muatan dan penumpang dari dan luar negeri, demikian juga halnya dengan penunjang kegiatan tambang Migas di lepas pantai.

 

Selama empat dekade memberlakukan Dispensasi Syarat Bendera dan peraturan lain, dengan dalih mendorong perusahaan pelayaran nasional mengoperasikan kapal berbendera Nasional, sama sekali tidak ada hasil.

 

Inpres No 5 Tahun 2005 dibuat dengan tujuan memberdayakan perusahaan pelayaran nasional yang nasionalis dan dapat bersaing memperebutkan pasar global dengan syarat kapal nasional harus berbendera Indonesia dan Kelas BKI (Biro Klasifikasi Indonesia), menyamaratakan semua jenis kapal untuk menerapkan asas Cabotage. Tetapi tidak berhasil karena tidak menerima kenyataan globalisasi di industri pelayaran dimana kapal milik nasional harus berbendera Indonesia dan kelas BKI.

 

Untuk memantapkan tujuan pemberlakuan Inpres No 5 Tahun 2005 tadi, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan KM No 71 tahun 2005 tentang Pengangkutan Barang/Muatan antar Pelabuhan Laut di Dalam Negeri dalam rangka Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional khususnya penerapan asas cabotage secara konsekuen dan telah menjadi kebijakan Pemerintah dengan membuat “Road Map” yang menyebutkan: “Pengangkutan penunjang kegiatan usaha hulu dan hilir Migas menggunakan kapal berbendera Indonesia dan kelas BKI, dilaksanakan selambat-lambatnya 1 Januari 2011”. Yang dimaksud disini adalah kapal-kapal khusus.

 

Kapal-kapal khusus ini adalah kapal dengan mobilitas tinggi untuk menunjang kegiatan operasi migas lepas pantai, bukan untuk mengangkut barang atau penumpang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain. Penggunaannya spesifik dan sangat terbatas, setelah selesai kontrak di Indonesia harus segera mencari pekerjaan di lapangan migas di negara lain.

 

Menyusul kemudian pemberlakukan UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dengan ketentuan yang sama. Setelah Pemerintah menerbitkan PP No 10 Tahun 2010 tentang Angkutan laut di Perairan Indonesia, menegaskan bahwa kegiatan pertambangan Migas sudah harus menggunakan kapal berbendera Indonesia mulai 1 Januari 2011 sesuai yang direncanakan dalam “Road Map”  tadi.

 

Ternyata tidak ada kapal-kapal khusus yang berbendera Indonesia. Perusahaan pelayaran tetap tidak sanggup memenuhi peraturan itu dengan alasan-alasan yang disebutkan tadi di atas.

 

Dengan alasan, kalau peraturan itu tetap diberlakukan kegiatan Migas lepas pantai akan berhenti total. Perlu ada perubahan dalam undang-undang tersebut. Atas usul Menteri Perhubungan untuk merevisi UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran khususnya untuk penggunaan kapal-kapal khusus. Namun, Komisi V DPR keberatan. Di tempuh jalan pintas merevisi peraturan pelaksanaan PP No 10 Tahun 2010 dengan menerbitkan PP No 22 Tahun 2011.

 

Kekisruan penerapan peraturan diperburuk lagi oleh pernyataan-pernyataan Ketua Dewan pengurus INSA Jhonson W Sutjipto dalam harian Bisinis Indonesia 1 April 2011 antara lain mengatakan bahwa asosiasinya meminta Pemerintah untuk tetap menggunakan kapal berbendera nasional sesuai Inpres No 5 Tahun 2005. Pernyataan ini jelas memperkeruh suasana dan bertentangan dengan kenyataan yang terjadi.

 

Selanjutnya, Ketua INSA menjelaskan bahwa pelaku usaha nasional sudah menginvestasi tidak kurang dari Rp7-8 trilliun untuk membeli kapal nasional sebanyak 3.904 unit. Pertanyaan kita, darimana anggota INSA memperoleh uang sebanyak itu untuk membeli kapal nasional yang berjumlah ribuan unit.

 

Sampai saat ini kita ketahui kondisi Perusahaan Pelayaran Nasional, tidak mungkin mempunyai atau  mendapatkan dana sebanyak itu untuk membeli ribuan unit kapal. Karena itu, informasi ini jelas membohongi Pemerintah, DPR dan masyarakat.

 

Selanjutnya konsep Revisi PP No 10 Tahun 2010 (PP No 22/2011) memuat peraturan sebagai berikut: “Kapal Asing dapat melakukan kegiatan lain yang tidak termasuk kegiatan mengangkut barang dan penumpang dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri di wilayah perairan Indonesia sepanjang kapal berbendera Indonesia belum tersedia atau belum cukup tersedia”.

 

Dalam PP ini, Pemerintah memberikan lagi kebebasan yang luas tanpa batas waktu kepada Kapal milik Asing untuk digunakan di usaha Migas lepas pantai Indonesia. Ini bukti bahwa peraturan “Dispensasi Syarat Bendera” dengan segala dampak negatifnya selama puluhan tahun sangat mubazir, tidak ada gunanya malah merugikan bangsa dan negara. Perusahaan pelayaran nasional tetap saja tidak bisa memiliki kapal-kapal khusus berbendera Nasional.

 

Revisi tersebut akan menimbulkan masalah lagi karena Menteri Perhubungan ditugaskan untuk membuat peraturan pelaksanaannya. Jelas akan diikuti lagi dengan dispensasi-dispensasi berjemaah lainnya. Ujung-ujungnya pungli akan muncul lebih hebat lagi.

 

Belum apa-apa sudah timbul inisiatif dari pejabat di Ditjen Perhubungan Laut  yang didukung oleh Ketua INSA  W Sucipto untuk mengenakan biaya tambahan atas kapal asing yang belum tersedia sejumlah AS$5.000 setiap kapal (Bisnis Indonesia, 1 dan 6 April 2011). Ini jelas menambah biaya operasi yang akan dibayar oleh Pemerintah.

 

Pertanyaan kita sampai kapan kapal-kapal khusus berbendera nasional akan cukup tersedia? Jawabannya, tidak akan ada. Indonesia bukan Negara kecil, bukan Negara Kemudahan se-level dengan Vanuatu, Honduras, Belise dsb yang benderanya bisa digunakan oleh perusahaan pelayaran mana saja untuk bersaing secara Internasional.

 

Kalau kapal niaga nasional berbendera Indonesia, subjektivitas Pemerintah Indonesia yang harus dihindari, malah hadir lagi mengatur kelaiklautan kapal niaga dalam melakukan persaingan. Dengan demikian, jelas tidak akan menguntungkan perusahaan pelayaran nasional. Pihak Investor, asuransi akan menjauh. Port State Control di negara lain akan mempersulit mobilitas kapal-kapal itu.

 

Kalau demikian halnya, Pemerintah dan Komisi V DPR sebaiknya menyadari bahwa arus perubahan dan globalisasi perdagangan dunia seperti yang mereka sering suarakan selama ini tidak bisa dibendung. Jangan memaksa perusahaan pelayaran nasional dan industri migas di Indonesia terus menerus tersiksa, mewajibkan mereka memenuhi peraturan yang memang tidak bisa mereka penuhi.

 

Jadi saran saya adalah rombak UU No 17 Tahun 2008 sesuaikan standar persaingan yang ada dengan memberikan izin padaperusahaan pelayaran nasional memiliki kapal-kapal khusus berbendera kemudahan untuk bersaing menunjang kegiatan Migas di lepas pantai Indonesia dan dimana saja dan kapal-kapal pengangkut muatan yang berlayar Internasional (Ocean Going) untuk bersaing memperebutkan muatan dimana saja di seluruh dunia.

 

*Pensiunan Pertamina, 1998

Tenaga Ahli Indonesian Offshore Shipping   

Association (IOSA) dan pengajar pendidikan Perusahaan Pengerahan Tenaga Pelaut.

Tags: