Masalah dalam Penerapan UU Pelayaran
Kolom

Masalah dalam Penerapan UU Pelayaran

Pemerintah masih tetap saja menerapkan Dispensasi Syarat Bendera yang menimbulkan pungutan liar berjemaah pada Departemen dan Direktorat Jenderal.

Bacaan 2 Menit

 

Hasil pemeriksaan dan perbaikan yang telah dilakukan dan bila ada rekomendasi tambahan perbaikan atau supply yang perlu, segera dilaporkan ke pelabuhan berikut (next Port) yang akan dikunjungi kapal itu dengan maksud supaya Port State Controller setempat mengetahui kondisi kelaiklautan kapal itu sebelum tiba dan bersiap memberikan pelayanan sesuai rekomendasi dari pelabuhan sebelumnya.

 

Pemeriksaan di pelabuhan tidak hanya dilakukan pada kapal-kapal pelayaran internasional tetapi juga kapal-kapal pelayaran domestik, supaya semangat meningkatkan keselamatan dan melindungi lingkungan berjalan baik demi untuk kepentingan bersama.

 

Peraturan Pemerintah Indonesia

Sejauh yang kita ketahui hal-hal yang disebutkan di atas kurang diperhatikan oleh Pemerintah. Kementerian Perhubungan cq Ditjen Perhubungan Laut yang menjadi mitra kerja IMO di Indonesia cenderung tidak memanfaatkan kemudahan dan peraturan yang dibuat oleh organisasi internasional itu. Pemerintah membuat peraturan sendiri dengan dalih untuk kepentingan dan kebanggaan nasional. Padahal, dalam era globalisasi yang diperlukan adalah pengusaha nasional dapat bersaing tanpa hambatan dengan pengusaha asing, memperebutkan pangsa pasar yang tersedia terutama mengangkut barang/penumpang dalam negeri, komoditi yang diekspor dan diimpor dan kegiatan pertambangan di lepas pantai. Kebanggaan nasional dilakukan melalui persaingan menggunakan standar peraturan dan kemudahan yang sama.

 

Demikian juga dengan survei dan sertifikasi kapal-kapal, pendidikan dan sertifikasi pelaut, tugas Port State Control masih dimonopoli oleh Pemerintah mengandalkan Inspektor Pemerintah (Syahbandar), padahal mereka sangat terbatas tenaga dan pengetahuan untuk memeriksa secara bertanggungjawab berbagai jenis dan tipe kapal yang masuk dan keluar pelabuhan di Indonesia. Pemerintah masih saja bermimpi kapal-kapal milik nasional apapun kegiatan yang dilakukan di dalam atau ke luar negeri harus berbendera Indonesia. Cara berpikir itu sudah sangat ketinggalan.

 

Timbul ketidakpercayaan apakah Pemerintah memang tidak mengetahui perubahan yang terjadi di lingkungan usaha pelayaran selama tiga puluh tahun terakhir. Kecurigaan kita justru pada oknum-oknum pejabat yang menduduki jabatan, mungkin saja sudah merasa  puas  menggunakan peraturan seperti “Dispensasi Syarat Bendera”, peraturan OB 23. Kapal yang masuk keluar Indonesia ditangani lagi sebagai barang impor sementara, perlu dibuat prosedur (PIB) oleh bea cukai dan cara berjemaah lain yang menguntungkan oknum-oknum pejabat. Padahal, mekanisme kapal asing masuk, tinggal sementara untuk bongkar/muat muatan atau bekerja dan keluar lagi dari perairan Indonesia sudah ada dan diatur dalam Konvensi IMO (FAL Convention 1965).

 

Akibatnya tugas utama Pemerintah menjaga dan mengawasi keselamatan pelayaran domestik malah kurang diperhatikan; tidak heran kalau terjadi banyak kecelakaan di laut.

 

Contoh ketidakseriusan Syahbandar mengawasi dan memeriksa kapal-kapal yang akan berlayar memuat penumpang melebihi kapasitas. KM Senopati Nusantara yang tenggelam di utara Semarang beberapa tahun yang lalu, KM Levina I terbakar dan tenggelam di perairan Tanjung Priuk memakan korban jiwa ratusan orang.

Halaman Selanjutnya:
Tags: