Masalah dalam Penerapan UU Pelayaran
Kolom

Masalah dalam Penerapan UU Pelayaran

Pemerintah masih tetap saja menerapkan Dispensasi Syarat Bendera yang menimbulkan pungutan liar berjemaah pada Departemen dan Direktorat Jenderal.

Bacaan 2 Menit

 

Dengan berlakunya UNCLOS 1982 (Konvensi PBB tentang Hukum Laut), semakin menegaskan bahwa laut adalah milik umat manusia yang harus dilindungi bersama dan dicegah dari pengrusakan dan pencemaran oleh siapa saja. Sejak itu peran IMO semakin penting dalam melahirkan konvensi-konvensi yang digunakan sebagai standar kelaiklautan kapal-kapal laut (kapal niaga), untuk bersaing memperebutkan pasar.

 

Untuk memudahkan persaingan itu dikontrol, PBB/IMO menetapkan beberapa Negara Kemudahan, dipilih oleh Perusahan Pelayaran untuk digunakan Benderanya bersaing (Flag of Convenience) bebas dari pengaruh dan subjektivitas negara-negara maritim besar lainnya. Perusahaan pelayaran otomatis menjadi perusahaan internasional. Konvensi-Konvensi yang sudah diratifikasi oleh negara-negara anggota digunakan sebagai standar kelaiklautan kapal niaga untuk digunakan bersaing secara sehat.

 

Kemudahan seperti itu membuat investor, asuransi kapal dan muatan tidak lagi ragu-ragu menanamkan modal dan mengasuransikannya karena kapal dibangun dan dioperasikan berdasarkan IMO Conventions dan diawasi (Sertifikasi Statutory dan Kelas) oleh Biro Klasifikasi Internasional (IACS) anggota IMO serta terbebas dari kepentingan, subjektivitas negara maju.

 

Dengan demikan era kapal-kapal niaga, milik Perusahaan Pelayaran Nasional harus berbendera nasional sudah berakhir. Pemerintah yang menjadi anggota IMO dan UNCLOS 1982, berkewajiban membantu dan mendorong perusahaan pelayaran nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan pelayaran milik asing dengan mengizinkan mereka menggunakan Bendera Negara Kemudahan.

 

Port State Control

Salah satu instrumen untuk mengawasi bentuk persaingan yang dibuat oleh PBB/IMO adalah kesepakatan bersama anggotanya (Pemerintah) untuk melakukan pengawasan bersama terhadap kapal-kapal yang memasuki pelabuhan masing-masing negara, disebut “Port State Control”. Untuk efektivitas pelaksanaannya, dunia dibagi dalam beberapa zona, setiap zona membuat memorandum yang disepakati bersama dalam zona itu. Indonesia masuk anggota zona “Tokyo Memorandum”.

 

Petugas pelabuhan yang diakui Pemerintah (Port State Controller) berkewajiban memeriksa kondisi dan kelaiklautan setiap kapal yang datang ke pelabuhannya. Petugas tersebut berhak menahan sebuah kapal kalau dianggap membahayakan kapal, muatan dan penumpang di atasnya untuk melanjutkan pelayaran. Kapal tersebut diharuskan memperbaiki atau melengkapi persyaratan kelaiklautan kapal yang sudah ditentukan sebelum diizinkan berlayar.

 

Petugas harus mengetahui cara melakukan pemeriksaan dan bagian-bagian mana saja yang harus diperiksa. Karena itu di negara-negara maju pemeriksaan didelegasikan pada badan usaha atau perorangan yang memang profesional mengetahui masalah kelaiklautan dari jenis dan tipe kapal yang diperiksa. Seperti contoh di pelabuhan minyak Bukom Singapore yang dioperasikan oleh Mobil Oil, dari dulu PSA Singapore mendelegasikan tugas tersebut ke petugas marine, Mobil Oil atas nama Pemerintah Singapore. Tidak dilakukan oleh Port Authority atau Syahbandar setempat.

Tags: