Kritik untuk PHK karena Pelanggaran Bersifat Mendesak
Kolom

Kritik untuk PHK karena Pelanggaran Bersifat Mendesak

Mahkamah Agung perlu memberikan panduan penerapan PHK karena pelanggaran mendesak dalam praktik di Pengadilan Hubungan Industrial.

Bacaan 6 Menit

Pada butir 2 SE-13/Men/Sj-Hk/I/2005 menyebutkan: “…Pasal-pasal Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dianggap tidak pernah ada dan tidak dapat digunakan lagi sebagai dasar / acuan dalam penyelesaian hubungan industrial”.

Setelah putusan MK, PHK terhadap pekerja yang diduga melakukan kesalahan berat diterapkan berbeda-beda antara pengusaha, mediator dan Pengadilan Hubungan Industrial. Misalnya mediasi dan Pengadilan Hubungan Industrial masih menerima kesalahan berat sebagai alasan PHK. Syaratnya apabila memang diatur dalam kaidah otonom (Peraturan Perusahaan/PP atau Perjanjian Kerja Bersama/PKB). Perbedaan kerap terjadi karena ada pendapat bahwa penerapan PHK karena kesalahan berat harus dengan dasar putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap.

Proses penerapan PHK kesalahan berat setelah putusan MK tetap diawali dengan bipartit, mediasi, dan Pengadilan Hubungan Industrial. Oleh karena itu, hal serupa harusnya berlaku juga untuk PHK karena pelanggaran bersifat mendesak. Perusahaan tidak bisa melakukan PHK sepihak, mengingat pelanggaran bersifat mendesak termasuk kualifikasi perbuatan pidana.

Penerapan PHK karena kesalahan berat setelah putusan MK yang diatur dalam PP atau PKB dikualifikasikan sebagai pelanggaran Pasal 161 UU Ketenagakerjaan. Dampaknya adalah berhak atas kompensasi PHK berupa uang pesangon, penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Selengkapnya bisa dibaca juga di artikel penulis yang terbit di Hukumonline pada 17 Juni 2012 berjudul Penerapan PHK Karena Kesalahan Berat Pasca Putusan MK.

Meski dikutip identik, kompensasi penerapan PHK karena kesalahan berat dengan PHK karena pelanggaran bersifat mendesak dalam PP 35/ 2021 berbeda. PP 35/ 2021 hanya memberikan hak berupa uang sisa cuti apabila ada yang belum diambil, ongkos pulang bagi pekerja dan keluarga ke tempat asal pekerja diterima bekerja, dan uang pisah yang nilainya diatur oleh Perusahaan.

Beberapa putusan Pengadilan Hubungan Industrial menyatakan hubungan kerja pengusaha dan pekerja putus terhitung sejak putusan dibacakan. Di sisi lain, beberapa putusan Pengadilan Hubungan Industrial untuk pelanggaran bersifat mendesak menyatakan PHK terhitung sejak pengusaha menerbitkan surat PHK. Hal tersebut tentu perlu dipertanyakan. Pengadilan Hubungan Industrial justru menguatkan PHK sepihak yang dilakukan Perusahaan. Apakah artinya Pengadilan Hubungan Industrial sepakat untuk abai dengan asas praduga tidak bersalah dan membenarkan pengusaha melakukan PHK sepihak?

PHK sepihak pada dasarnya diizinkan jika terdapat kondisi yang tidak memungkinkan bagi pekerja untuk menjalani proses hukum. Misalnya PHK karena pekerja mangkir atau pekerja ditahan. Dua kondisi tersebut bisa diterima. Pekerja yang mangkir faktanya untuk bekerja saja tidak hadir, apalagi untuk menjalani proses hukum. Begitu juga bagi pekerja yang berada di rumah tahanan negara.

Tags:

Berita Terkait