Kasus Pemidanaan Pelanggar PPKM dan Berjualan Saat PPKM sebagai Overmacht
Kolom

Kasus Pemidanaan Pelanggar PPKM dan Berjualan Saat PPKM sebagai Overmacht

Para pelaku UMKM dalam situasi sulit akibat pandemi Covid-19 sangatlah manusiawi berupaya keluar dari desakan krisis dan himpitan ekonomi.

Bacaan 6 Menit

Pelanggaran adalah suatu delik yang lebih ringan daripada kejahatan. Pelanggaran pada prinsipnya (in casu pelanggaran prokes) tidak dipidana. Pasal 54 KUHP menyebutkan mencoba melakukan pelangggaran tidak dipidana. Hal ini berangkat dari filosofi bahwa KUHP tidak mau membatasi atau merampas kemerdekaan individu kalau hal itu tidak perlu. Hanya kejahatan yang dapat dipidana.

Kedua, rumusan delik Pasal 21 I ayat (2) jo. Pasal 34 Ayat (1) Perda Jawa Barat No. 5 tahun 2021 kabur (obscuur) dan ambigu pada frasa "berpotensi" sebelum frasa "menyebabkan". Bandingkan dengan rumusan Pasal 93 UU No.16 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang secara ekpresis verbis menyatakan ".....dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyababkan kedaruratan kesehatan masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama satu (1) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.00 (seratus juta rupiah)". Tidak ada frasa "potensi" sebelum frasa ‘’menyebabkan’’ dalam UU Kekarantinaan Kesehatan yang merupakan role mode regulasi dalam pengendalian pandemi Covid-19 di Indonesia.

Dalam doktrin hukum pidana, frasa "menyebabkan" melukiskan kualifikasi rumusan delik sebagai delik materil yang menghendaki adanya akibat tertentu yang harus terjadi. Lain hal dengan frasa "potensi", melukiskan kualifikasi rumusan delik sebagai delik percobaan (poging delict). Jika keadaan yang dimaksud tidak terjadi (in casu kerumunan, kedaruratan kesehatan), maka delik belum selesai atau belum ada. Menurut Pasal 53 KUHP, selama tidak terjadi kerumunan, kedaruratan kesehatan, maka hanya ada percobaan (poging). Sekali lagi, percobaan terhadap pelanggaran tidak dipidana (Pasal 54 KUHP).

Dengan demikian, Ketentuan Pasal 21 I ayat (2) jo. Pasal 34 Ayat (1) Perda Jawa Barat No. 5 tahun 2021 bertentangan dengan (1) asas lex certa (undang-undang pidana berumus pasti dan tidak bermakna ganda) dan (2) lex stricta (rumusan undang-undang pidana harus tegas dan tidak dapat dimaknai lain). Hanya perbuatan oleh UU pidana dengan tegas disebut sebagai peristiwa pidana (delik) yang dapat dipertanggungjawabkan kepada individu yang dituduh melanggar ketertiban masyarakat.

Padahal menurut Lie Oen Hock, hakim melalui peradilan dapat menetapkan sendiri makna ketentuaan UU yang tidak jelas dalam suatu UU dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan UU secara gramatikal atau historis, baik recht maupun wetshistoris. Sesuai dengan ketentuan Pasal 10 jo. Pasal 5 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Ketiga, berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung No.2399 K/Pid.Sus/2010 penerapan hukum harus diselaraskan dengan tuntutan keadilan masyarakat. Di sini hakim gagal memahami tuntutan keadilan masyarakat, incasu para pelaku UMKM yang pendapatannya anjlok selama pandemi dan fakta bahwa berjualan pada saat pelaksanaan PPKM adalah keterpaksaan karena keadaan dan himpitan ekonomi yang memaksa mereka nekat berjualan meski ada batasan dan larangan selama PPKM untuk bertahan hidup.

Jika merujuk pada Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19, tidak ada sanksi pidana terhadap pelanggaran prokes, melainkan hanya dikenakan sanksi administrasi.

Tags:

Berita Terkait