Inkonstitusional Bersyarat dan Mengapa MK Memodifikasi Putusan?
Kolom

Inkonstitusional Bersyarat dan Mengapa MK Memodifikasi Putusan?

Modifikasi putusan merupakan jawaban atas panggilan tanggung jawab konstitusional MK agar punya intensi kreatif untuk paripurna pasang badan mengawal UUD 1945.

Bacaan 6 Menit

Putusan konstitusional bersyarat muncul kali pertama dalam putusan pengujian UU Sumber Daya Air pada 2005. Hanya baru sebatas muncul di pertimbangan hukum. Terus berkembang dimuat di pertimbangan hukum plus konklusi putusan, belum pada amar. Itu dijumpai pada putusan dengan amar Ditolak. Baru pada 1 Juli 2008, konstitusional bersyarat dituliskan kali pertama sebagai amar, yakni dalam Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 perihal pengujian UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Berikutnya, apa itu putusan inkonstitusional bersyarat? Ini kebalikan dari putusan konstitusional bersyarat. Artinya, norma UU yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 jika syarat yang ditentukan MK tidak dipenuhi. Pada saat putusan diucapkan, norma itu terbukti bertentangan dengan UUD 1945. Akan menjadi konstitusional norma itu, jika syarat yang ditetapkan dipenuhi.

Jika ditelisik, amar ini punya benang merah dengan fakta bahwa adressat putusan seringkali keliru memahami putusan konstitusional bersyarat. Oleh adressat putusan, amar ini cenderung diartikan konstitusional, karenanya, dipahami tak ada masalah di sana. Maka di sini, titik tekannya diubah, dinyatakan inkonstitusional dengan syarat. Dengan begitu, adressat putusan dipaksa melakukan tindakan hukum agar norma dimaksud menjadi konstitusional manakala syarat yang ditetapkan MK dapat dipenuhi. Jika dalam syarat gagal dipenuhi, maka norma itu akan menyandang status inkonstitusional permanen.

MK menjatuhkan putusan dengan amar inkonstitusional bersyarat pertama kali pada Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009 perihal pengujian ketentuan Pasal 12 huruf g dan Pasal 51 ayat (1) UU Pemilu dan Pasal 58 huruf f UU Pemda. Sesudahnya, MK tak ragu memutuskan demikian jika harus dan diperlukan hingga kini.

Berdasarkan uraian di atas, hal yang patut dipahami ialah dalam koridor kewenangannya, MK punya otoritas menetapkan langkah-langkah relevan dalam kerangka menjaga konstitusionalitas UUD 1945. Termasuk juga mempertimbangkan seluruh aspek yang diperlukan sebagai alas memutus perkara. Kaku pada amar stipulatif UU, jelas memustahilkan MK berperan lebih bermakna. Modifikasi putusan sejatinya merupakan jawaban atas panggilan tanggung jawab konstitusional MK agar punya intensi kreatif untuk paripurna pasang badan mengawal UUD 1945.

Bagi orang yang selalu mengatakan, “MK itu putusannya menyatakan konstitusional atau tidak UU yang diuji saja, titik”, atau sering mempertanyakan “dari mana kewenangan MK memerintahkan pembentuk UU membuat UU ini dan itu”, nampaknya butuh terus memperbarui bacaannya. Dengan demikian, kritik kepada (putusan) MK lebih cerdas dan bernas, jangan asal ‘ngegas’. Salam Konstitusi!

*)Dr. Fajar Laksono Suroso, Pengajar FH Universitas Brawijaya, Pengurus Pusat APHTN-HAN.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait