Inkonstitusional Bersyarat dan Mengapa MK Memodifikasi Putusan?
Kolom

Inkonstitusional Bersyarat dan Mengapa MK Memodifikasi Putusan?

Modifikasi putusan merupakan jawaban atas panggilan tanggung jawab konstitusional MK agar punya intensi kreatif untuk paripurna pasang badan mengawal UUD 1945.

Bacaan 6 Menit
Inkonstitusional Bersyarat dan Mengapa MK Memodifikasi Putusan?
Hukumonline

Ada banyak segi menarik putusan MK dalam pengujian UU Cipta Kerja yang diputus kurang lebih sebulan lalu. Namun, mari fokus ke segi amar: inkonstitusional bersyarat. Menurut MK, pembentukan UU Cipta Kerja cacat formil, namun dinyatakan tetap berlaku hingga diperbaiki dalam jangka waktu 2 tahun sejak putusan diucapkan.

Timbul pendapat, kalau cacat formil, mestinya UU Cipta Kerja dinyatakan ‘inkonstitusional’. Titik. Tanpa embel-embel ‘bersyarat’. Ada lagi, kalau toh masih berlaku, seharusnya UU Cipta Kerja konstitusional bersyarat. Putusan ini juga dikatakan menyimpangi UU MK. Jika pembentukan UU terbukti tak memenuhi ketentuan pembentukannya berdasarkan UUD 1945, harusnya UU tak lagi berkekuatan mengikat. Jadi, putusan ini aneh. Ada pengamat bilang begitu. Betulkah?

Dua paragraf di atas menyimpan tiga hal yang penting dikemukakan, ialah (1) mengapa putusan MK direspon beragam; (2) MK memodifikasi putusan; (3) perlunya dipahami putusan inkonstitusional bersyarat.

Respon Beragam

Kenapa hampir selalu muncul respon beragam terhadap putusan MK, apalagi putusan bermagnitudo besar sekaliber uji UU Cipta Kerja? Ada sedikitnya tiga kemungkinan. Pertama, sebagaimana halnya hukum tertulis, putusan MK terbuka untuk ditafsirkan. Dalam sifat tertulis itu, selalu ada ruang reduksi atau perluasan makna dari penafsirnya. Kalimat hukum selalu mengandung kelenturan tertentu.

Kedua, para penafsir cenderung mengambil sebagian (cherry picking) dari putusan MK sesuai kepentingan masing-masing. Kalimat dalam putusan yang kiranya tak mem-back up kepentingannya dibuang. Yang menguntungkan di-stabillo dijadikan ‘jualan’. Di ulang-ulang, seolah-olah paling benar sembari mengelirukan pandangan lain.

Ketiga, penafsir belum membaca utuh putusan, tapi nafsu berkomentar tak tertahankan. Entah karena tetiba ditanya mahasiswa atau ‘ditodong’ wartawan. Agar dianggap tahu, buru-buru membaca sekilas ringkas berita online. Alih-alih tafsir yang tepat, justru ia terjebak logika parsial yang gagal mencerminkan pesan utuh, bahkan bisa jadi menyimpang dari esensi putusan.

Dari tiga kemungkinan, tinggal di-cek saja, dari mana rasio suatu tafsir berpijak. Di satu sisi, keragaman itu bagus bagi diskursus kritis-akademis. Tetapi di sisi lain, potensial merunyamkan publik dalam memahami isi putusan sesungguhnya.

Modifikasi Putusan

Bagaimana dengan MK yang memutus di luar garis UU? UU MK menetapkan tiga jenis amar putusan, baik untuk uji formil maupun uji materiil UU, yaitu Dikabulkan, Ditolak, atau Tidak Dapat Diterima. Dikabulkan (granted) dijatuhkan tatkala menurut MK, permohonan pemohon beralasan menurut hukum. Sebaliknya, Ditolak (rejected) manakala permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum karena pemohon gagal meyakinkan MK. Sementara, Tidak Dapat Diterima (in-admission) karena ada masalah legal standing atau kewenangan absolut MK.

Seiring dinamika praktik, amar itu berkembang. Jika dicermati, sejak belasan tahun silam, MK sudah tidak strict dengan tiga jenis amar itu. Apa saja? Pertama, putusan yang bersifat tafsiran (interpretative decision). Ini lazim ditulis sebagai putusan bersyarat (conditional decision) yang dipecah menjadi dua: konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).

Kedua, putusan yang memuat pernyataan norma UU yang diuji bertentangan dengan UUD 1945, namun tidak ‘dibatalkan’ (declaration of incompatibility). Ketiga, putusan yang memuat perintah kepada pembentuk UU untuk melakukan perbaikan UU, baik tanpa atau dengan batas waktu (judicial order directed to the lawmakers with deadline).

Keempat, putusan yang menoleransi berlakunya norma UU yang sebenarnya telah dinyatakan bertentangan dengan UUD hingga batas waktu tertentu (limited constitutional). Kelima, putusan yang ‘membatalkan’ UU secara keseluruhan (invalidating the law in its entirety), betapapun norma UU yang diajukan pengujian hanya satu dua pasal saja.

Lantas, mengapa MK memodifikasi putusan? Ada sekurangnya lima argumentasi untuk memahami sikap MK.

Pertama, praktik MK sebagai peradilan konstitusi meniscayakan putusannya sebagai solusi hukum sekaligus memenuhi tuntutan untuk men-delivery keadilan, wabil khusus kepada pemohon. Oleh MK, tiga jenis amar dipandang tak cukup memadai untuk memberikan solusi hukum. Di sini nampaknya MK punya pandangan: hukum bukan hanya untuk hukum, melainkan hukum untuk (kemaslahatan) manusia.

Kedua, memoderasi dampak putusan. Maksudnya, putusan MK yang menyatakan inkonstitusional norma UU berdampak besar. Salah satu dampaknya pada pola relasi pembentuk UU dengan MK. Di sejumlah negara, putusan MK yang membatalkan UU kerap memicu ‘ketegangan’ atau konflik kedua lembaga.

Putusan demikian dituding membatasi otonomi dan mengintervensi otoritas pembentuk UU. Akibatnya, relasi konfrontatif tercipta. Dalam realitas itu, beberapa MK menempuh cara menghindari konfrontatif dengan menetapkan putusan bersyarat. Walaupun langkah itu menurut Henry R. Glick (1983:27), berisiko mendistorsi makna semula dari norma yang ditafsirkan, tetapi hasilnya mampu mencegah konfrontasi.

Ketiga, meningkatkan efektivitas pelaksanaan putusan. Ini masih berkaitan dengan moderasi putusan. Tatkala putusan mendorong relasi bersifat konfrontatif, maka putusan itu berpotensi diabaikan, tak efektif atau bahkan tidak dilaksanakan. Mencegah itu, di sejumlah negara, MK mengkreasi putusan, yang oleh Ulrich Karpen, disebut putusan tafsir ramah legislatif (2014: 25).

Putusan tak melulu pernyataan konstitusional atau tidaknya norma UU, tetapi lebih persuasif. Contohnya, MK Jerman pernah membuat ‘appellate decisions’, yakni putusan yang tak menyatakan inkonstitusional suatu norma, melainkan memberi peringatan kepada pembentuk UU agar membuat norma yang sejalan dengan konstitusi dalam jangka waktu tertentu. MK Polandia membuat ‘signalizations’, yakni putusan persuasif yang mengarahkan perhatian pembentuk UU menempuh aksi legislasi mengatasi dimensi inkonstitusionalitas (Carias: 2009: 112). Hasilnya positif, putusan lebih efektif.

Keempat, kebutuhan mencegah kekosongan aturan hukum (legal vacuum). Jika MK terpaku pada tiga jenis amar, sangat mungkin putusan justru menggali rongga kosong aturan hukum yang justru mengantarkan pada kekacauan hukum (legal disorder). Antisipasinya, MK membuat putusan dengan prasyarat yang dibutuhkan dan/atau memberikan pemaknaan baru atas norma yang diuji.

Kelima, kebutuhan MK untuk berkontribusi menentukan apa yang dikehendaki oleh konstitusi, baik di masa kini maupun masa mendatang. Melalui putusan,MK mendorong dan memandu pembentuk UU membangun kerangka kerja legislasi pasca putusan agar proses dan hasil legislasi tak lagi menyimpan problem konstitusionalitas. Di MK Jerman, Polandia, Ceko, Kosovo, Croatia, Hungaria, dan lain-lain, langkah ini lazim dipraktikkan. Dalam putusan, dimuat secara eksplisit mandat konstitusional kepada pembentuk UU (bindings order and directives to the legislator) untuk memperbaiki UU agar sesuai dengan konstitusi incasu tafsir konstitusional MK.

Ihwal Putusan Bersyarat

Berikutnya, masuk ke putusan bersyarat. Apa yang dimaksud konstitusional bersyarat? Melalui putusan ini, MK sedang menyatakan norma (dalam) UU yang diuji tetap konstitusional, sepanjang syarat yang ditentukan MK dipenuhi. Dengan kata lain, ada dimensi konstitusionalitas yang hendak dipertahankan dari norma yang diuji dengan menyematkan syarat pemaknaan tertentu.

Sebagai contoh, jika dalam petitum Pemohon meminta MK menyatakan inkonstitusional suatu norma UU dan tidak memiliki kekuatan mengikat, padahal norma itu diperlukan dan sebenarnya punya validitas konstitusional. Kalau sekedar dinyatakan inkonstitusional, maka pengaturannya tak ada lagi. Ini yang menimbulkan problem lebih kompleks. Jika itu terjadi, niscaya MK gagal berperan memberi solusi konstitusional.

Tidak dipungkiri, putusan ini memunculkan sangkaan bahwa MK berlaku layaknya mini parliament. Dalam artian, pada perkara tertentu, MK dituntut menggeser orbitnya dari negative menjadi positive legislator. Hal ini yang acapkali ditentang sebagian ahli hukum. Mereka akan berkelakar serius, Hans Kelsen sebagai arsitek peradilan konstitusi pertama di dunia (MK Austria) murka mengetahui fakta MK yang semula didesain sebagai negative legislator, telah berpaling menjadi positive legislator. Ini mungkin. Tetapi siapa tahu, Hans Kelsen justru menjura berterima kasih untuk sesuatu hal yang dulu belum tebersit di benaknya.

Putusan konstitusional bersyarat muncul kali pertama dalam putusan pengujian UU Sumber Daya Air pada 2005. Hanya baru sebatas muncul di pertimbangan hukum. Terus berkembang dimuat di pertimbangan hukum plus konklusi putusan, belum pada amar. Itu dijumpai pada putusan dengan amar Ditolak. Baru pada 1 Juli 2008, konstitusional bersyarat dituliskan kali pertama sebagai amar, yakni dalam Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 perihal pengujian UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Berikutnya, apa itu putusan inkonstitusional bersyarat? Ini kebalikan dari putusan konstitusional bersyarat. Artinya, norma UU yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 jika syarat yang ditentukan MK tidak dipenuhi. Pada saat putusan diucapkan, norma itu terbukti bertentangan dengan UUD 1945. Akan menjadi konstitusional norma itu, jika syarat yang ditetapkan dipenuhi.

Jika ditelisik, amar ini punya benang merah dengan fakta bahwa adressat putusan seringkali keliru memahami putusan konstitusional bersyarat. Oleh adressat putusan, amar ini cenderung diartikan konstitusional, karenanya, dipahami tak ada masalah di sana. Maka di sini, titik tekannya diubah, dinyatakan inkonstitusional dengan syarat. Dengan begitu, adressat putusan dipaksa melakukan tindakan hukum agar norma dimaksud menjadi konstitusional manakala syarat yang ditetapkan MK dapat dipenuhi. Jika dalam syarat gagal dipenuhi, maka norma itu akan menyandang status inkonstitusional permanen.

MK menjatuhkan putusan dengan amar inkonstitusional bersyarat pertama kali pada Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009 perihal pengujian ketentuan Pasal 12 huruf g dan Pasal 51 ayat (1) UU Pemilu dan Pasal 58 huruf f UU Pemda. Sesudahnya, MK tak ragu memutuskan demikian jika harus dan diperlukan hingga kini.

Berdasarkan uraian di atas, hal yang patut dipahami ialah dalam koridor kewenangannya, MK punya otoritas menetapkan langkah-langkah relevan dalam kerangka menjaga konstitusionalitas UUD 1945. Termasuk juga mempertimbangkan seluruh aspek yang diperlukan sebagai alas memutus perkara. Kaku pada amar stipulatif UU, jelas memustahilkan MK berperan lebih bermakna. Modifikasi putusan sejatinya merupakan jawaban atas panggilan tanggung jawab konstitusional MK agar punya intensi kreatif untuk paripurna pasang badan mengawal UUD 1945.

Bagi orang yang selalu mengatakan, “MK itu putusannya menyatakan konstitusional atau tidak UU yang diuji saja, titik”, atau sering mempertanyakan “dari mana kewenangan MK memerintahkan pembentuk UU membuat UU ini dan itu”, nampaknya butuh terus memperbarui bacaannya. Dengan demikian, kritik kepada (putusan) MK lebih cerdas dan bernas, jangan asal ‘ngegas’. Salam Konstitusi!

*)Dr. Fajar Laksono Suroso, Pengajar FH Universitas Brawijaya, Pengurus Pusat APHTN-HAN.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait