Inkonstitusional Bersyarat dan Mengapa MK Memodifikasi Putusan?
Kolom

Inkonstitusional Bersyarat dan Mengapa MK Memodifikasi Putusan?

Modifikasi putusan merupakan jawaban atas panggilan tanggung jawab konstitusional MK agar punya intensi kreatif untuk paripurna pasang badan mengawal UUD 1945.

Bacaan 6 Menit

Modifikasi Putusan

Bagaimana dengan MK yang memutus di luar garis UU? UU MK menetapkan tiga jenis amar putusan, baik untuk uji formil maupun uji materiil UU, yaitu Dikabulkan, Ditolak, atau Tidak Dapat Diterima. Dikabulkan (granted) dijatuhkan tatkala menurut MK, permohonan pemohon beralasan menurut hukum. Sebaliknya, Ditolak (rejected) manakala permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum karena pemohon gagal meyakinkan MK. Sementara, Tidak Dapat Diterima (in-admission) karena ada masalah legal standing atau kewenangan absolut MK.

Seiring dinamika praktik, amar itu berkembang. Jika dicermati, sejak belasan tahun silam, MK sudah tidak strict dengan tiga jenis amar itu. Apa saja? Pertama, putusan yang bersifat tafsiran (interpretative decision). Ini lazim ditulis sebagai putusan bersyarat (conditional decision) yang dipecah menjadi dua: konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).

Kedua, putusan yang memuat pernyataan norma UU yang diuji bertentangan dengan UUD 1945, namun tidak ‘dibatalkan’ (declaration of incompatibility). Ketiga, putusan yang memuat perintah kepada pembentuk UU untuk melakukan perbaikan UU, baik tanpa atau dengan batas waktu (judicial order directed to the lawmakers with deadline).

Keempat, putusan yang menoleransi berlakunya norma UU yang sebenarnya telah dinyatakan bertentangan dengan UUD hingga batas waktu tertentu (limited constitutional). Kelima, putusan yang ‘membatalkan’ UU secara keseluruhan (invalidating the law in its entirety), betapapun norma UU yang diajukan pengujian hanya satu dua pasal saja.

Lantas, mengapa MK memodifikasi putusan? Ada sekurangnya lima argumentasi untuk memahami sikap MK.

Pertama, praktik MK sebagai peradilan konstitusi meniscayakan putusannya sebagai solusi hukum sekaligus memenuhi tuntutan untuk men-delivery keadilan, wabil khusus kepada pemohon. Oleh MK, tiga jenis amar dipandang tak cukup memadai untuk memberikan solusi hukum. Di sini nampaknya MK punya pandangan: hukum bukan hanya untuk hukum, melainkan hukum untuk (kemaslahatan) manusia.

Kedua, memoderasi dampak putusan. Maksudnya, putusan MK yang menyatakan inkonstitusional norma UU berdampak besar. Salah satu dampaknya pada pola relasi pembentuk UU dengan MK. Di sejumlah negara, putusan MK yang membatalkan UU kerap memicu ‘ketegangan’ atau konflik kedua lembaga.

Putusan demikian dituding membatasi otonomi dan mengintervensi otoritas pembentuk UU. Akibatnya, relasi konfrontatif tercipta. Dalam realitas itu, beberapa MK menempuh cara menghindari konfrontatif dengan menetapkan putusan bersyarat. Walaupun langkah itu menurut Henry R. Glick (1983:27), berisiko mendistorsi makna semula dari norma yang ditafsirkan, tetapi hasilnya mampu mencegah konfrontasi.

Tags:

Berita Terkait