Selain argumen tersebut, Perma 2008 terbit setelah MA melakukan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi Perma No. 2 Tahun 2003 selama lima tahun terakhir. Ditemukan beberapa permasalahan, jelas Susanti kepada hukumonline.
Sejak 2006 lalu MA sudah membentuk tim yang bekerja mengevaluasi kelemahan-kelemahan dimaksud, beranggotakan dari hakim, advokat, Pusat Mediasi Nasional, dan organisasi yang selama ini concern pada masalah-masalah mediasi, Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT). Hasil kerja tim inilah yang kini kita kenal sebagai Perma 2008. Perma 1/2008 ini muncul karena dirasakan Perma No. 2/2003 mengandung kelemahan. Beberapa hal harus disempurnakan, tegas advokat yang juga arbiter, Tony Budidjaja.
Sambutan positif
Sejumlah pihak menyambut positif terbitnya Perma 1/2008. Suyud Margono, advokat yang juga mediator terdaftar menilai langkah MA sangat tepat. Ia berharap Perma 1/2008 bisa mengatasi problem yang selama ini muncul di lapangan dengan menggunakan Perma 2/2003. Dengan membuat beleid baru setidaknya MA tanggap terhadap kebutuhan proses penyelesaian perkara. Pada prinsipnya saya berterima kasih kepada MA, ujar penulis buku ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum ini.
Tony Budidjaja melihat Perma 2008 positif untuk membantu masyarakat, advokat, dan hakim untuk lebih memahami mediasi. Salah satu kelemahan yang dirasakan selama ini adalah kurangnya pemahaman terhadap mediasi dan alternatif penyelesaian sengketa lain. Tony berharap dengan rumusan yang lebih komprehensif, Perma 1/2008 dapat lebih dipahami.
Karena itu, Suyud Margono berharap Mahkamah Agung menyosialisasikan terbitnya Perma 2008, baik kepada hakim maupun kepada para advokat dan mediator. Ia malah meminta MA memasyarakatkan Perma ke perguruan tinggi dan asosiasi mediator. Keinginan Suyud tampaknya bakal bersambut. Berdasarkan informasi yang diperoleh hukumonline, MA akan menyelenggarakan sosialisasi di Jakarta pada pekan terakhir Oktober mendatang.
Lebih komprehensif
Dari jumlah klausul, Perma 2008 jauh lebih padat karena memuat 27 pasal, sementara Perma 2003 hanya 17 pasal. Perbedaan jumlah pasal ini setidaknya menunjukkan ada perbedaan keduanya. Perma 1/2008 mencoba memberikan pengaturan yang lebih komprehensif, lebih lengkap, dan lebih detail sehubungan dengan mediasi di pengadilan, kata Tony Budidjaja.
Perma 2008 memang membawa perubahan mendasar dalam beberapa hal. Misalnya rumusan perdamaian pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Perma 2003 sama sekali tak mengenal tahapan demikian. Perma 1/2008 memungkinkan para pihak atas dasar kesepakatan mereka menempuh perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Syaratnya, sepanjang perkara belum diputus majelis pada masing-masing tingkatan tadi.
Misalkan ada sengketa antara A dengan B di PN Jakarta Selatan. Pengadilan tingkat pertama sudah memutus A kalah. Lalu A mengajukan banding. Nah, dalam proses banding itulah tetap dimungkinkan kedua belah pihak melakukan mediasi. Kalau tercapai kesepakatan, maka kesepakatan itu wajib disampaikan secara tertulis kepada pengadilan tingkat pertama yang mengadili sengketa tersebut, dalam hal ini PN Jakarta Selatan.
Sistematika Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan | ||
Bab I: Ketentuan Umum |
| Pasal 1 – 6 |
Bab II: Tahap Pra Mediasi |
| Pasal 7 - 12 |
Bab III: Tahap-Tahap Proses Mediasi |
| Pasal 13 – 19 |
Bab IV: Tempat Penyelenggaraan Mediasi |
| Pasal 20 |
Bab V: Perdamaian di Tingkat Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali |
| Pasal 21 – 22 |
Bab VI: Kesepakatan di Luar Pengadilan |
| Pasal 23 |
Bab VII: Pedoman Perilaku Mediator dan Insentif |
| Pasal 24 - 25 |
Bab VIII: Penutup |
| Pasal 26 - 27 |
Selain kemungkinan damai pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali, Perma 1/2008 memuat rumusan baru tentang konsekuensi hukum jika proses mediasi tak ditempuh. Pasal 2 ayat (3) tegas menyebutkan: Tidak menempuh proses mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 130 HIR dan atau pasal 154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Perma 1/2008 juga mengatur jenis perkara yang bisa dimediasi. Berdasarkan pasal 4, semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib terlebih dahulu diselesaikan melalui mediasi, kecuali untuk beberapa perkara. Pengecualian tersebut adalah perkara yang diselesaikan melalui pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Tony Budidjaja mengkritik luasnya perkara yang bisa dimediasi. Perma tidak spesifik menyebut apa saja, dan nilai perkaranya berapa. Itu sebabnya, Tony berharap proses mediasi harus dilakukan hati-hati.
Tawaran mediasi dari Reno Listowo mestinya dipakai David M. L. Tobing dan lawan-lawan berperkaranya untuk berdamai. Tetapi rupanya, IPB, BPOM dan Departemen Kesehatan sulit menerima usulan David, demikian sebaliknya. David minta ketiga institusi mengumumkan tanpa syarat merek susu yang tercemar. Sebaliknya, ketiga tergugat minta David menyebut merek susu yang dikonsumsi anaknya untuk dipastikan apakah termasuk susu tercemar atau tidak.
Kedua kubu akhirnya gagal mencapai kata sepakat. Kegagalan itu dituangkan majelis hakim PN Jakarta Pusat dalam putusannya. Menimbang bahwa memenuhi apa yang diamanatkan ketentuan pasal 130 HIR jo Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2003, majelis hakim telah mengupayakan perdamaian di antara pihak-pihak dengan menggunakan lembaga mediasi. Akan tetapi ternyata tidak berhasil. Karenanya, maka pemeriksaan perkara ini dimulai dengan membacakan surat gugatan penggugat, yang atas materi gugatannya tersebut penggugat menyatakan tetap pada gugatannya.
David mendaftarkan gugatan pada 17 Maret 2008, dan perkaranya diputus pada 20 Agustus. Dalam putusan, tawaran mediasi majelis merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2003. Padahal, sebelum putusan itu diketuk, sebenarnya Perma No. 2/2003 itu sudah dinyatakan tidak berlaku. Persisnya, sejak 31 Juli 2008, Mahkamah Agung sudah menerbitkan beleid baru tentang prosedur mediasi di pengadilan. Beleid dimaksud adalah Perma No. 1 Tahun 2008.
Mahkamah Agung menyadari bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah. Selain itu, mediasi dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Menurut hakim agung Susanti Adi Nugroho, mediasi yang terintegrasi ke pengadilan diharapkan efektif mengurangi tumpukan perkara, termasuk di Mahkamah Agung (MA). Beban MA itu banyak sekali, ujarnya.