Urgensi Pembentukan Regulasi Pengelolaan Ruang Udara Nasional
Kolom

Urgensi Pembentukan Regulasi Pengelolaan Ruang Udara Nasional

Undang-undang perlu bertaji. Jangan sampai pelanggaran tidak berefek jera atau menemui segelintir kesulitan dalam mengenakan sanksi akibat panjangnya proses birokrasi.

Bacaan 5 Menit
Ridha Aditya Nugraha (kiri) dan Yaries Mahardika Putro (kanan). Foto: Istimewa
Ridha Aditya Nugraha (kiri) dan Yaries Mahardika Putro (kanan). Foto: Istimewa

Ruang udara Indonesia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Medium ini memerlukan pengelolaan yang bijaksana terkait pemanfaatan dan pelestarian. Hal ini sejalan dengan konstitusi, tepatnya tercantum pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Ruang udara berkaitan erat dengan kedaulatan suatu negara. Konsep kedaulatan negara atas ruang udara memiliki sejarah panjang. Pada tahap awal, terdapat perdebatan panjang apakah langit perlu dibebaskan dalam perumusan konsep kedaulatan negara. Adalah Konvensi Paris 1919 yang menjadi titik tolak di mana negara-negara secara konsisten telah menegaskan kontrol kedaulatan atas ruang udara.

Dalam menjelaskan konsep kedaulatan udara, pakar hukum Manfred Lachs mencatat konsep cuius est solum eius est usque ad coelum et ad sidera. Adagium hukum Romawi tersebut berkata “siapapun yang memiliki tanah memiliki hak atasnya sampai ke langit dan bintang-bintang". Penegasan dalam konteks ruang udara menjadi dasar kedaulatan negara di udara sebagaimana termuat baik dalam pasal pertama Konvensi Paris 1919 dan kemudian Konvensi Chicago 1944. Berbicara yang disebut terakhir, sang penerus merupakan salah satu konvensi internasional tersukses dengan 193 negara penandatangan.

Baca juga:

Penegasan atas kedaulatan negara di ruang udara bertujuan mencegah pelanggaran wilayah udara. Mengingat perkembangan pesat dunia penerbangan di regional ASEAN, termasuk general aviation, hal ini akan berdampak kepada potensi peningkatan jumlah pelanggaran di ruang udara Indonesia. Sebelumnya sempat ramai kasus pelanggaran wilayah udara oleh pesawat kargo Ethiopian Airlines (2019) dan beberapa pesawat latih sipil dari negara tetangga, ke depannya isu kawasan Indo-Pasifik yang tidak hanya melibatkan pesawat udara tetapi juga wahana udara berpotensi turut meramaikan.

Berdasarkan perhitungan jumlah pembelian dan kedatangan pesawat, perkembangan pasar dunia penerbangan Indonesia terhitung tercepat kedua di dunia setelah Tiongkok. Menurut International Air Transport Association (IATA), pasar dunia penerbangan Indonesia berpotensi menjadi keenam terbesar di dunia pada 2034. Pertumbuhan ini tentunya akan memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi di Indonesia.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki setidaknya 340 bandara dan lapangan terbang. Adapun 32 bandara di antaranya dikelola oleh operator bandara di bawah payung BUMN, yaitu PT Angkasa Pura I (AP I) dan PT Angkasa Pura II (AP II). Beberapa konsorsium asing telah masuk sebagai operator bandara, seperti Changi Airport International dan GMR Airports Consortium. Infrastruktur ini berpotensi mewadahi general aviation maupun penerbangan tidak berjadwal semacam penggunaan private jet.

Tags:

Berita Terkait