Urgensi Pembentukan Regulasi Pengelolaan Ruang Udara Nasional
Kolom

Urgensi Pembentukan Regulasi Pengelolaan Ruang Udara Nasional

Undang-undang perlu bertaji. Jangan sampai pelanggaran tidak berefek jera atau menemui segelintir kesulitan dalam mengenakan sanksi akibat panjangnya proses birokrasi.

Bacaan 5 Menit

Zona tersebut dapat dilewati pesawat tertentu semacam pesawat tempur dan kini mengacu kepada drone maupun wahana udara; serta pada saat bersamaan berada di bawah orbit rendah satelit atau LEO. Dimensi peralihan (buffer) antara ruang udara dan antariksa ini sebelumnya belum banyak digunakan, tetapi dunia perlu bersiap untuk mengantisipasi perkembangan pesat teknologi kedirgantaraan.

Seiring kemajuan teknologi, zona near space memiliki potensi signifikan baik untuk kepentingan sipil maupun militer. Surat kabar resmi Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok menggambarkan near space sebagai medan pertempuran baru dalam perang modern dan bagian penting dari sistem keamanan nasional. Mengingat belum hadirnya hukum positif yang membicarakan perihal near space secara spesifik untuk ruang udara Indonesia, kiranya ketentuan ini dapat menjadi setidaknya satu pasal dalam perumusan RUU Pengelolaan Ruang Udara Nasional. Renungannya ialah apakah lebih cocok dengan pendekatan fungsionalis atau spasialis. Hal pertama mengacu kepada penguasaan teknologi dirgantara, sementara perihal kedua berbicara soal angka ketinggian baik kisaran maupun pasti layaknya delimitasi ruang udara dan antariksa.

Kemudian status kawasan udara terlarang (prohibited), kawasan udara terbatas (restricted area), dan kawasan udara berbahaya (danger area) layak memperoleh perhatian dan evaluasi mengingat beberapa perkembangan terkini. Pertama terkait pengambilalihan pengelolaan Flight Information Region (FIR) dari Singapura ke Indonesia sebagaimana sepaket dengan Defence Cooperation Agreement antar keduanya. Perancangan pasal untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara perlu memperhatikan kewajiban Indonesia berdasarkan hukum internasional.

Kedua, perihal pendirian Ibu Kota Nusantara yang dekat dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Ruang udara di atas ALKI merupakan airroads bagi pesawat negara, termasuk pesawat tempur asing, di mana terdapat kebebasan hingga batas tertentu mengacu United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Muncul kembali tantangan layaknya pada peristiwa hukum FIR-DCA, yakni sejauh apa menahan diri dalam menetapkan prohibited, restricted, dan danger area agar tidak bertentangan dengan hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982.

Akhir kata, undang-undang juga perlu bertaji. Jangan sampai pelanggaran tidak berefek jera atau menemui segelintir kesulitan dalam mengenakan sanksi akibat panjangnya proses birokrasi. Peninjauan kembali terhadap penunjukkan instansi dengan wewenang penyelidikan dan penyidikan dapat menjadi langkah awal untuk ditegaskan dalam RUU Pengelolaan Ruang Udara Nasional.

*)Yaries Mahardika Putro dan Ridha Aditya Nugraha, Dosen Hukum Udara dan Ruang Angkasa, Fakultas Hukum Universitas Surabaya. Air and Space Law Studies, Universitas Prasetiya Mulya.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait