Urgensi Pembentukan Regulasi Pengelolaan Ruang Udara Nasional
Kolom

Urgensi Pembentukan Regulasi Pengelolaan Ruang Udara Nasional

Undang-undang perlu bertaji. Jangan sampai pelanggaran tidak berefek jera atau menemui segelintir kesulitan dalam mengenakan sanksi akibat panjangnya proses birokrasi.

Bacaan 5 Menit

Perihal pertahanan dan keamanan negara, berdasarkan data yang disampaikan oleh Menteri Pertahanan sepanjang tahun 2020 terjadi sekitar 1.500 pelanggaran di ruang udara nasional. Selanjutnya pada tahun 2021 Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (kini Komando Operasi Udara Nasional atau Koopsudnas) mencatat setidaknya terdapat 600 pelanggaran pada ruang udara nasional. Pelaku tidak terbatas pesawat udara sipil asing (non-registrasi Indonesia), tetapi juga pesawat udara negara (militer) asing.

Mengingat jumlah signifikan tersebut, menjadi penting untuk mengevaluasi dan membenahi regulasi terkini terkait ruang udara nasional. Peraturan perlu efektif dan efisien dalam penerapan, tidak kalah penting dengan sanksi yang dapat dilaksanakan. Berbicara peraturan khusus akan pengelolaan ruang udara nasional, sekitar 15 tahun silam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah memberikan amanat. Pasal 6 ayat (5) menyebutkan “Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri.”

Absennya undang-undang tersendiri perihal pengelolaan ruang udara menjadikan pengaturannya belum terpadu dan terpisah-pisah. Memang telah terdapat beberapa peraturan guna mewujudkan cita-cita UU Penataan Ruang, seperti i.) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara; ii.) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan; dan iii.) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pengamanan Wilayah Udara Republik Indonesia.

Ketiga hukum positif tersebut nyatanya belum memuat atau menegaskan perkembangan beberapa isu terkini yang kian genting dibahas. Beberapa hal yang menjadi perhatian maupun perjuangan Indonesia antara lain perihal batas vertikal ruang udara; ketentuan mengenai subantariksa (near space); penginderaan dari jarak jauh di tengah kehadiran nanosatellites maupun small satellites pada low earth orbit (LEO); hingga upaya memetakan kembali status kawasan udara terlarang (prohibited), kawasan udara terbatas (restricted area), dan kawasan udara berbahaya (danger area).

Sehubungan penegasan batas vertikal ruang udara Indonesia, hingga saat ini belum ada ketentuan perundang-undangan yang mengatur secara spesifik melalui batang tubuh perundangan-undangan. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan memang telah menyebutkan batas vertikal pada kisaran 100-110 kilometer. Namun, ketentuan ini hanya termaktub di dalam bagian penjelasan dan bukan batang tubuh undang-undang. Perspektif melatarbelakangi fakta ini ialah perjuangan Indonesia sedekade lalu dengan target yang sama.

Menjadi renungan apakah Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Ruang Udara Nasional perlu menetapkan ketinggian secara kisaran atau angka pasti semacam 110 kilometer mengingat proses pembahasan delimitasi ruang masih terus berlangsung di United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS); dan bagaimana jika perkembangan di Vienna kemudian menentukan batas ketinggian lain.

Selanjutnya perihal subantariksa, baru-baru ini militer Amerika Serikat mengambil tindakan terhadap balon cuaca ‘pengintai’ milik Tiongkok di atas ruang udara nasionalnya. Hal ini semakin menyoroti urgensi regulasi atas zona near space. Zona ini mengacu pada ketinggian antara 20-100 kilometer di atas permukaan Bumi. Perlu digarisbawahi terdapat perdebatan di dunia dalam menentukan batasan tersebut.

Tags:

Berita Terkait