Teknik Pembuktian Ajaran Dualistis dalam KUHP Nasional
Kolom

Teknik Pembuktian Ajaran Dualistis dalam KUHP Nasional

Ajaran yang memisahkan secara tegas antara perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility). Setiap tahap pemeriksaan perkara pidana wajib membuktikan kesengajaan untuk mencegah pemidanaan terhadap perbuatan yang tidak sengaja.

Bacaan 6 Menit

Artinya, tidak tertulisnya “dengan sengaja” bukan berarti kesengajaan ini tidak perlu dibuktikan. Setiap tahap pemeriksaan perkara pidana tetap wajib membuktikan kesengajaan. Hal ini penting untuk mencegah pemidanaan terhadap perbuatan yang tidak sengaja.

Menurut penulis, pembuktian ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, pembuktian di dalam bagian inti delik yang berperan sebagai predikat dalam rumusan tindak pidana. Ibnu Fajar Rahim mengatakan bahwa penyusunan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan idealnya harus memenuhi kaidah SPOK dalam bahasa Indonesia. Sebagai contoh, Pasal 458 KUHP Nasional tentang Pembunuhan menyatakan, "Orang yang merampas nyawa orang lain", subjeknya adalah "orang", predikatnya adalah "merampas", dan objeknya adalah "nyawa orang lain". Oleh karena itu, pembuktian kesengajaan dapat dilakukan dalam bagian inti tindak pidana dalam kata “merampas”.

Kedua, pembuktian kesengajaan dapat dilakukan setelah pembuktian unsur-unsur tindak pidana. Struktur putusan hakim memuat bagian tentang pemenuhan unsur-unsur tindak pidana, bagian tentang pernyataan kesalahan terdakwa, dan pemidanaan yang dijatuhkan. Pembuktian kesengajaan dapat dilakukan dalam analisis pernyataan kesalahan terdakwa.

Begitu pun jika kita melihat struktur Surat Tuntutan dalam Keputusan Jaksa Agung Nomor 227 Tahun 2022 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana Umum. Bagian analisis yuridis berisi dua bagian penting. Pertama adalah pembuktian terkait pemenuhan unsur-unsur tindak pidana. Kedua adalah pembuktian terhadap kesalahan sebagai bagian dari pemenuhan aspek pertanggungjawaban pidana. Penuntut umum dapat membuktikan kesengajaan yang dilakukan oleh terdakwa pada bagian ini. Mekanisme demikian tidak hanya menitikberatkan pada pemenuhan unsur tindak pidana, tetapi juga memperhatikan aspek pertanggungjawaban pidana (kesalahan) sebagai konsekuensi ajaran dualistis.

Akhirnya, ajaran dualistis ini berimplikasi terhadap proses pembuktian perkara pidana di pengadilan. Terpenuhinya unsur-unsur suatu tindak pidana tidak serta merta membuat seseorang dapat dipidana. Harus dipenuhi pula aspek pertanggungjawaban pidana yang memuat aspek kesalahan.

Pembuktian ini juga harus memperhatikan ada atau tidaknya alasan penghapus pidana. Baik alasan pembenar—yang menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan—, maupun alasan pemaaf—yang menghapuskan kesalahan—harus ditinjau. Uraian yang demikian akan membuat pembuktian menjadi lebih paripurna. Tentu ini demi mewujudkan penegakan hukum yang adil sejalan dengan prinsip due process of law di Indonesia.

*)Dr.Rudi Pradisetia Sudirdja, S.H., M.H., Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan anggota Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (ASPERHUPIKI).

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait