Tanggung Jawab Bandara dan Maskapai Penerbangan di Tengah Pandemi
Kolom

Tanggung Jawab Bandara dan Maskapai Penerbangan di Tengah Pandemi

Operator bandara akan diuji ketika PSBB mulai dilonggarkan.

Bacaan 2 Menit

e. penumpang yang mengalami luka-luka dan harus menjalani perawatan di rumah sakit, klinik atau balai pengobatan sebagai pasien rawat inap dan/atau rawat jalan, akan diberikan ganti kerugian sebesar biaya perawatan yang nyata paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta Rupiah) per penumpang.

Besaran kompensasi ditentukan berdasarkan letak terjadinya luka-luka; atau dalam hal ini di mana penularan Covid-19 kepada penumpang terjadi. Permenhub No. 77 Tahun 2011 memberikan angka kompensasi yang tinggi seandainya penumpang tertular Covid-19 kemudian meninggal dunia.

Namun, perihal luka-luka dibatasi hanya untuk biaya perawatan nyata. Setidaknya hal ini dapat membuka kesempatan bagi Pemerintah untuk meminta penggantian biaya perawatan kepada maskapai maupun bandara guna menyelamatkan anggaran negara. Sejauh ini belum terdapat yurispurdensi terkait kompensasi akibat penumpang tertular Covid-19, tetapi berpotensi akan terjadi mengingat masyarakat pada era digital memiliki akses terhadap pengetahuan maupun bantuan hukum.

Fenomena Normal Baru

Awal dilaksanakannya kembali penerbangan domestik sempat berujung dengan kerumunan penumpang di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta. Ironisnya hal ini terjadi ketika PSBB berlangsung. Kegagalan memastikan jarak aman antar penumpang atau tidak terjaminnya sirkulasi udara sehingga menyebabkan penularan Covid-19 berpotensi menyeret operator bandara turut bertanggung jawab. Potensi tersebut nyata dan seyogianya tidak dianggap angin lalu. Lokasi kejadian yang akan menentukan kapan tanggung jawab bandara dimulai dan maskapai berakhir.

Operator bandara akan diuji ketika PSBB mulai dilonggarkan. Kebijakan International Air Transport Association (IATA) yang menolak aturan jaga jarak (physical distancing) di kursi pesawat juga berpotensi meningkatkan volume penumpang. Alhasil, kebijakan operasional dan mitigasi resiko yang dilakukan operator bandara perlu melibatkan divisi hukum atau ahli yang menguasai hukum udara.

Hal yang sama berlaku bagi maskapai penerbangan. Fenomena pakaian kru AirAsia dengan alat pelindung diri yang modis menggambarkan suatu upaya untuk menihilkan tanggung jawab maskapai. Pesan tegas tersampaikan bahwa kru tidak menulari serta mencegah menjadi medium penularan antar penumpang. Hal ini krusial apalagi jika terbang di antara zona merah.

Terdapat rezim hukum yang berbeda antara penerbangan domestik dengan internasional. Kompensasi dan penafsirannya dapat berbeda, dan inilah yang akan dialami maskapai hingga keadaan kembali normal. Layaknya operator bandara, maskapai penerbangan juga perlu melengkapi divisi hukum dengan kompetensi hukum udara guna mengawal kebijakan operasional.

*)Ridha Aditya Nugraha adalah Dosen Prodi Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya dengan spesialisasi Hukum Udara dan Antariksa.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait