Reformasi Hukum Kepailitan Indonesia: Kepailitan Tidak Didasarkan Pada Insolvency Test
Kolom

Reformasi Hukum Kepailitan Indonesia: Kepailitan Tidak Didasarkan Pada Insolvency Test

Pelaksanaan prinsip insolvency test sebagai dasar dari kepailitan, akan menggeser esensi kepastian hukum dari kewajiban debitor untuk melunasi utang ketika telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Bacaan 10 Menit

Sifat penyelesaian kolektif dari PKPU akan mengakibatkan seluruh kreditor, termasuk kreditor separatis tidak dapat melakukan penagihan ataupun penyitaan ataupun tindakan eksekusi terhadap harta debitor (jaminan kebendaan) selama masa PKPU. Pengajuan usulan perdamaian dari debitor dalam PKPU akan berjalan dalam pengawasan Tim Pengurus yang diangkat oleh Pengadilan Niaga untuk melakukan pengurusan debitor dalam PKPU tersebut.

Prinsip presumption of insolvency tidak mengharuskan Pengadilan Niaga untuk mempertimbangkan atau membuktikan apakah utang-utang debitor yang dimohonkan PKPU memiliki kelayakan untuk direstrukturisasi atau tidak. Pengadilan Niaga wajib mengabulkan permohonan PKPU ketika terbukti bahwa debitor yang dimohonkan PKPU memiliki minimum dua kreditor dan tidak melunasi minimum satu utang yang terbukti telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Itu alasannya mengapa Pengadilan Niaga dapat memutuskan permohonan PKPU dalam waktu yang sangat cepat, yaitu maksimum 20 hari kerja ketika permohonan PKPU diajukan oleh kreditor terhadap debitornya, dan bahkan hanya 3 hari kerja ketika permohonan PKPU tersebut diajukan oleh debitor terhadap dirinya secara sukarela (voluntary PKPU). Akan tetapi putusan PKPU yang diberikan oleh Pengadilan Niaga masih bersifat sementara atau yang disebut dengan PKPU Sementara.

Berdasarkan Pasal 225 Ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU, terdapat waktu maksimum 45 hari, terhitung sejak permohonan PKPU sementara dikabulkan, untuk melakukan evaluasi (evaluation period) terhadap debitor dalam PKPU untuk memastikan apakah status PKPU debitor tersebut dapat ditingkatkan menjadi PKPU tetap. Bila misalnya, izin usaha dari debitor dalam PKPU telah dicabut, maka berdasarkan Pasal 142 Ayat (1) (f) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, debitor tersebut secara hukum telah bubar, sehingga tidak ada dasar untuk meningkatkan status PKPU sementara menjadi PKPU tetap. Demikian pula halnya, bila debitor tersebut telah lama dormant dan tidak lagi memiliki aset atau alat produksi untuk digunakan, maka kelayakan debitor tersebut untuk direstrukturisasi tidak terbukti, sehingga PKPU sementara tidak perlu ditingkatkan menjadi PKPU tetap.

Mengingat tujuan dari permohonan PKPU adalah untuk memberikan kesempatan pada debitor dalam PKPU untuk memperbaiki kesehatan keuangan dan juga aktivitas produksinya, maka upaya penggunaan waktu maksimum 270 hari dalam proses persiapan dan negosiasi suabstansi proposal skema restrukturisasi utang pada setiap kreditor haruslah dilakukan secara baik, dan seluruh dasar kemampuan, termasuk kemampuan permodalan (working capital) dari debitor dalam PKPU untuk memutar kembali aktivitas berbisnisnya haruslah secara benar dibuktikan oleh debitor. Karena bilapun debitor dalam PKPU berhasil mendapat dukungan dari mayoritas kreditornya (termasuk atas dukungan kreditor afiliasinya) apabila ternyata debitor tersebut tidak mampu melaksanakan perjanjian perdamaian yang telah dihomologasi tersebut, maka perjanjian perdamaian yang telah disahkan (homologasi) oleh Pengadilan Niaga tersebut akan sangat berpotensi untuk dibatalkan oleh kreditor berdasarkan Pasal 291 UU Kepailitan dan PKPU, sehingga debitor akan menjadi insolvent.

*)Ricardo Simanjuntak,SH.,LL.M,ANZIIF,CIP.,MCIArb., adalah Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) 2006 sd 2013.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait