Reformasi Hukum Kepailitan Indonesia: Kepailitan Tidak Didasarkan Pada Insolvency Test
Kolom

Reformasi Hukum Kepailitan Indonesia: Kepailitan Tidak Didasarkan Pada Insolvency Test

Pelaksanaan prinsip insolvency test sebagai dasar dari kepailitan, akan menggeser esensi kepastian hukum dari kewajiban debitor untuk melunasi utang ketika telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Bacaan 10 Menit

Lebih jauh, penjabaran Philip R wood dalam bukunya yang berjudul, Principle of International Insolvency (2007), dapat dipahami bahwa cara perhitungan nilai aset debitor juga dapat menjadi dasar perdebatan, apakah harus dihitung berdasarkan harga pasar (market perice), harga wajar (fair price) ataupun harga liquidasi (liquidation price). Belum lagi, praktik pembukuan ganda yang sangat rentan membangun potensi sengketa untuk menentukan apakah seorang debitor secara akuntansi telah insolvent atau tidak. Potensi perdebatan ataupun sengketa teori yang timbul dalam pembangunan kesimpulan tentang apakah seorang debitor telah insolvent atau masih solvent, akan mengakibatkan pembuktian secara akuntansi tidak akan dapat dilakukan secara sederhana, padahal kepastian hukum yang harus diwujudkan adalah untuk menegakkan hak kreditor untuk mendapatkan pelunasan piutangnya ketika terbukti telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Sebaliknya, andaipun berdasarkan balance sheet terbukti bahwa harta debitor masih lebih besar dari jumlah utang-utangnya, akan tetapi ternyata harta tersebut tidak dalam bentuk uang tunai (non liquid assets) atau hampir seluruhnya dalam bentuk tanah dan bangunan, sehingga tidak mudah untuk segera dijual atau dijaminkan untuk mendapatkan pinjaman. Artinya, walaupun secara akuntansi debitor tersebut berada dalam keadaan solvent, tetap saja debitor tidak mampu untuk melunasi utangnya ketika terbukti telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Apakah debitor tersebut dapat dibebaskan dari kepailitan? Fidelis Oditah dalam papernya yang berjudul; “Winding up recalcitrant debtors menegaskan adalah hak kreditor berdasarkan prinsip ex debitio justitiae untuk mendapatkan pelunasan dari piutangnya ketika telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dimana terhadap kegagalan debitor untuk melunasinya, debitor tersebut dapat dinyatakan pailit.

Untuk menghindari kepailitan, debitor harus melunasi utangnya ketika terbukti telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Andaipun ketidakmampuan debitor melunasi utangnya adalah karena tidak memiliki uang tunai (lack of liquidity) pada tanggal jatuh tempo utang, akan tetapi masih memiliki aset yang nilainya cukup untuk melunasi utang tersebut, debitor harus secara aktif meyakinkan kreditor terhadap kemampuannya untuk menyelesaikan utang tersebut sesegera mungkin. Misalnya, melalui permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), untuk memberi kesempatan bagi debitor untuk segera menjual aset miliknya ataupun mencari pinjaman dari bank ataupun perusahaan pembiayaan lainnya dengan meletakkan aset tersebut sebagai jaminan utang, atau dalam upaya yang lebih luas, berupaya untuk mendapatkan persetujuan penyelesaian utang dari seluruh kreditornya secara kolektif melalui debt rescheduling ataupun debt restructuring.

Seorang debitor tidak dapat begitu saja mengesampingkan ataupun menunda kewajiban untuk melunasi utangnya yang terbukti telah jatuh tempo dan harus dilunasi, tanpa terlebih dahulu mendapat persetujuan dari kreditornya, kecuali bila dapat dibuktikan bahwa keberadaan ataupun status jatuh tempo dan dapat ditagihnya utang tersebut secara substantif masih dipersengketakan (prima faciedisputed claims), atau penolakan debitor untuk melunasi utang diakibatkan oleh tindakan wanprestasi yang terlebih dahulu dilakukan oleh kreditor (exceptio nonadimpleti contractus), atau ketidakmampuan debitor untuk melunasi utangnya disebabkan oleh force majeure.

Oleh karenanya, Tracey Evans Chan dalam Walter Woon on Company Law (2014) berpendapat bahwa dasar untuk menyatakan seorang debitor pailit tidak harus melalui pembuktian insolvensi (insolvency test), akan tetapi cukup berdasarkan anggapan bahwa debitor telah insolvent (presumption of insolvency) ketika terbukti tidak melunasi minimum satu utangnya yang terbukti telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Secara khusus juga bagi debitor perorangan yang tidak memliki laporan keuangan.

Hal senada juga diutarakan ahli kepailitan Belanda, Sijmen de Ranitz dan Lucas Kortman yang dimuat dalam buku “The Law of International Insolvencies and Debt Restructurings” (2006). Pada intinya ia menjelaskan bahwa alasan tidak diterapkannya doktrin insolvency test adalah karena selain melibatkan proses pemeriksaan dan analisa akuntansi yang rumit, jikapun ditemukan fakta bahwa harta dari perusahaan jumlahnya telah lebih kecil dari jumlah utang-utangnya (termasuk yang belum jatuh tempo) tidak secara otomatis menyimpulkan bahwa perusahaan tersebut telah insolvent.

Demikian pula dijelaskan oleh Peter J.M Declerg dalam bukunya, Netherlands Insolvency Law, The Netherlands Bankruptcy Act and the Most Important Legal Concept (2002), intinya menyatakan bahwa seorang debitor akan dinyatakan pailit ketika terbukti bahwa debitor tersebut memiliki paling sedikit dua kreditor dimana salah satu dari utangnya telah jatuh tempo dan dapat ditagih, akan tetapi debitor tersebut tidak mampu membayarnya (cannot pay), menolak membayarnya (refuse to pay) ataupun tidak berniat untuk membayarnya (simply does not want (unwilling) to pay).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait