Reformasi Hukum Kepailitan Indonesia: Kepailitan Tidak Didasarkan Pada Insolvency Test
Kolom

Reformasi Hukum Kepailitan Indonesia: Kepailitan Tidak Didasarkan Pada Insolvency Test

Pelaksanaan prinsip insolvency test sebagai dasar dari kepailitan, akan menggeser esensi kepastian hukum dari kewajiban debitor untuk melunasi utang ketika telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Bacaan 10 Menit

Lebih jauh, Wee Meng Seng, dalam papernya yang berjudul; “Misconceptions About the “Unable to Pay Its Debts” Ground of Winding Up” (2019) menjelaskan bahwa kegagalan debitor membayar utangnya ketika telah terbukti jatuh tempo dan dapat ditagih merupakan “external manifestation of the debtor’s insolvency” bagi kreditornya. Karena, tidak ada dasar bagi seorang debitor untuk tidak melunasi utangnya yang terbukti telah jatuh tempo dan dapat ditagih, bila debitor tersebut berada dalam keadaan solvent.

Bila jumlah kreditornya hanya satu (single creditor) penurunan jumlah harta debitor akibat kerugian yang terus dialaminya (loss bleeding) tidak begitu mengkhawatirkan karena tidak akan terjadi pembagian dari harta debitor yang tersisa dengan kreditor lain. Akan tetapi, ketika debitor tersebut memiliki kreditor lebih dari satu, maka akan memicu kekhawatiran, khususnya terhadap kreditor yang tidak memegang jaminan (kreditor konkuren) sehingga akan berpotensi untuk saling berpacu saling mendahului (chaotic race) untuk mendapatkan penyelesaian utangnya langsung dari harta debitor, dimana Prof Thomas H.Jackson dalam artikelnya “Translating assets and liabilities to the bankruptcy forum” (1996) menyatakan sebagai sebagai cara penyelesaian yang bersifat first come and first grab.

Oleh karenanya, Vanessa Finch dalam bukunya “Corporate Insolvency Law, Perpectives snd Principles (2002)” berpendapat bahwa risiko terjadinya tindakan saling mendahului atau saling berebut harta debitor oleh para kreditor untuk mendapatkan pembayaran masing-masing piutangnya hanya akan dapat dihentikan melalui rejim hukum kepailitan. Pernyataan pailit mengakibatkan seluruh harta debitor secara hukum diletakkan dalam status sita umum (general statutory attachment) sehingga menghentikan seluruh hak dan upaya-upaya individual para kreditor konkuren untuk memaksakan pembayaran piutangnya dari harta debitor. Seperti juga yang dijelaskan oleh Fred B.G Tumbuan dalam artikelnya “Menelaah Konsep Dasar dan Aspek Hukum Kepailitan (2004)”, melalui sita umum tersebut dihindari dan diakhiri sita dan eksekusi oleh para kreditor terhadap harta debitor secara sendiri-sendiri.

Prinsip tersebutlah yang mendasari hadirnya norma hukum Pasal 2 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UU Kepailitan dan PKPU) yang mengatur bahwa seorang debitor akan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga apabila terbukti memiliki dua kreditor atau lebih, dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang terbukti telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pasal tersebut tidak mendasarkan pada doktrin atau prinsip insolvency test, akan tetapi berdasarkan prinsip persangkaan hukum (presumption of insolvency) yang didasarkan pada dua fakta hukum, yaitu: debitor tersebut terbukti memiliki minimum dua kreditor, dan debitor tersebut terbukti tidak melunasi minimum satu utang yang terbukti telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Dengan kalimat lain, tidak diperlukan adanya pembuktian apakah secara akuntansi debitor yang dimohonkan pailit telah berada dalam keadaan insolvent. Karena berdasarkan Pasal 8 Ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU cukup untuk menjadi dasar sederhana untuk menyatakan debitor tersebut pailit. Prinsip tersebut menjadi dasar dibedakannya penggunaan istilah pailit (bankrupt) dan insolvent dalam UU Kepailitan dan PKPU.

Putusan pernyataan pailit atas dasar terpenuhinya Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU adalah putusan yang dijatuhkan atas dasar persangkaan bahwa debitor telah insolvent. Artinya, belum tentu debitor tersebut telah insolvent. Untuk itu, terhadap debitor yang telah dinyatakan pailit masih memiliki hak untuk mengajukan proposal perdamaian berdasarkan Pasal 144 UU Kepailitan dan PKPU, baik penyelesaian melalui pola cash settlement pada harga yang disepakati, atau melalui skema restrukturisasi utang (debtrestructuring) kepada seluruh kreditornya. Bila debitor yang telah dinyatakan pailit ternyata tidak mengajukan usulan perdamaian, atau proposal perdamaian yang diajukan oleh debitor pailit ditolak oleh mayoritas kreditornya (kreditor konkuren), berdasarkan Pasal 178 UU Kepailitan dan PKPU barulah secara hukum debitor tersebut dinyatakan insolvent, sebagai menjadi dasar bagi kurator yang diangkat untuk melakukan tindakan pemberesan (likuidasi) harta debitor pailit.

Intinya, pelaksanaan prinsip insolvency test sebagai dasar dari kepailitan, akan menggeser esensi kepastian hukum dari kewajiban debitor untuk melunasi utang ketika telah jatuh tempo dan dapat ditagih (ex debitio justitiae), ke ajang perdebatan akuntansi yang selalu bersifat tidak sederhana, yang mengakibatkan kewenangan Pengadilan Niaga berdasarkan Pasal 8 Ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU akan sangat sulit diterapkan.

Prinsip Collective Settlement

PKPU adalah langkah penyelesaian sengketa yang bersifat kolektif yang dimaksudkan untuk memberi kesempatan bagi debitor untuk melakukan penyehatan keuangan dan aktivitas berbisnisnya, dengan skema restrukturisasi utang terhadap seluruh kreditornya. Sehingga dengan membaiknya kesehatan dari debitor tersebut, kemampuan membayar utangnya akan menguat sehingga para kreditor akan dapat menerima pembayaran piutang-piutangnya dengan nilai yang lebih baik.

Tags:

Berita Terkait