Quo Vadis RUU Advokat, Multi Bar atau Single Bar?
Kolom

Quo Vadis RUU Advokat, Multi Bar atau Single Bar?

Apakah benar RUU Advokat ini memang dirancang untuk melindungi kepentingan advokat dan masyarakat pencari keadilan atau hanya merupakan implementasi dari kepentingan golongan tertentu?

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Pribadi Penulis
Foto: Koleksi Pribadi Penulis

Rencana para advokat Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) untuk menggelar aksi damai menolak RUU Advokat di Parkir Timur Senayan pada hari Kamis 11 September 2014. Para advokat tersebut berunjuk rasa terkait pembahasan RUU Advokat yang mengusung konsep multi bar dan rencana dibentuknya Dewan Advokat Nasional (DAN) yang dipilih oleh DPR atas usulan presiden, yang dipandang sebagai suatu ancaman atas independensi profesi Advokat.[i]

Sesuai dengan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk kliennya, baik dengan menerima honorarium maupun dengan cuma-cuma (prodeo).

Sejarah mencatat, pada tanggal 14 Maret 1963, ruang kafetaria kampus Universitas Indonesia menjadi saksi bisu dari pembicaraan santai dan hangat di antara 14 Advokat dari berbagai daerah, muncul ide besar untuk pendirian Persatuan Advokat Indonesia (PAI), yang kemudian menjadi Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN), sebagai organisasi advokat tertua di Indonesia.[ii]

Dari namanya, dapat kita renungkan bersama bahwa keinginan dari founding father untuk mendirikan Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) adalah mengedepankan semangat persatuan dan kesatuan untuk membuat organisasi advokat tertua ini menjadi pengawal konstitusi yang kuat, independen serta dapat memberikan sumbangsih yang mulia bagi masyarakat pencari keadilan.

Keberadaan PERADIN pada waktu itu dirasakan sebagai kekuatan besar dan luar biasa untuk mengawasi jalannya pemerintahan dan penegakan hukum di Indonesia. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh legenda hidup advokat Indonesia, Adnan Buyung Nasution, dalam sambutan rakernas Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) pada tanggal 27 Juni 2012, tentang adanya intervensi pemerintah Orde Baru pada PERADIN, yang menyebabkan organisasi advokat pertama Indonesia ini akhirnya pecah.

Sejak saat itu, Advokat Indonesia tidak lagi menetap di “satu rumah”, dan tercerai berai di berbagai organisasi advokat. Intervensi pemerintah itu merupakan reaksi terhadap konsistensi para advokat PERADIN yang sangat berhasil dalam mengartikulasikan gagasan konstitusionalisme dan prinsip the rule of  law. Singkatnya, kiprah organisasi advokat di masa itu telah menjadi suatu ancaman yang nyata terhadap kekuasaan Orde Baru yang otoriter.[iii]

Dari perpecahan organisasi advokat yang disinggung di atas, lahir banyak organisasi-organisasi advokat. Diantaranya Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal  (HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).

Dengan spirit persatuan yang pernah dicita-citakan para pendahulunya, delapan oranisasi tersebut tergabung dalam Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI), yang kemudian pada tanggal 23 Mei 2003 melahirkan Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) yang masih digunakan sampai dengan saat ini. Dapat dikatakan KKAI dan KEAI tersebut merupakan cikal bakal lahirnya masterpiece UU Advokat yang pertama sekaligus dan juga lahirnya PERADI yang didirikan dengan Akta Pernyataan Pendirian No. 30 yang dibuat di hadapan Notaris Buntario Tigris sebagai realisasi dari amanat Pasal 32 UU Advokat untuk mendirikan Wadah Tunggal organisasi advokat.[iv]

Ironisnya, 9 tahun setelahnya dan masih di bulan yang sama (September) DPR justru berencana untuk mengesahkan RUU Advokat dengan konsep multi bar pada tanggal 24 September 2014.

Perjalanan UU Advokat dan PERADI telah mengalami ujian yang tidak sedikit. Bayangkan saja, sudah terhitung kurang lebih 17 kali UU Advokat di-judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) dan munculnya beberapa organisasi advokat yang baru. Misalnya Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang diduga salah satunya dipicu oleh adanya berbagai macam persoalan internal di kalangan advokat, seperti perseteruan dua advokat, Hotman Paris Hutapea dan Todung Mulya lubis yang berujung di-disbar-nya Todung Mulya Lubis oleh Dewan Kehormatan Daerah (DKD) DKI Jakarta.

Buntut perpecahan organisasi advokat telah dirasakan banyak kalangan, bukan hanya bagi masyarakat pencari keadilan melainkan juga calon advokat yang berhak untuk mendapatkan “SIM” untuk menjalankan profesinya. Penulis sendiri sempat mengalami betapa sulitnya perjuangan menunggu selama setahun lebih untuk dapat disumpah sebagai advokat yang sah pada tahun 2010, bertempat di hotel Grand Melia, yang mana pada waktu itu berlangsung sangat ricuh dan hampir saja membuat acara pengambilan sumpah Advokat menjadi batal. Di sisi yang lain, rekan-rekan calon advokat dari KAI juga merasa diperlakukan tidak adil karena tidak dapat diambil sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Tinggi.

Mencermati konsep multi bar yang diusung Pasal 15 dan 16 RUU Advokat yang menyatakan bahwa “organisasi advokat (dapat) didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 35 (tiga puluh lima) orang advokat dengan akta notaris”, dapat membuat organisasi-organisasi advokat yang baru semakin menjamur.

Tanpa bermaksud mengesampingkan hak konstitusional dan derogable rights untuk berorganisasi, dengan munculnya banyak organisasi advokat yang “sah” secara undang-undang, berpotensi untuk membuat penegakan kode etik advokat menjadi sulit untuk dilaksanakan. Misalnya dalam hal adanya advokat dari organisasi A yang dihukum karena pelanggaran etik, kemudian advokat tersebut tidak menerima putusan tersebut dan selanjutnya berpindah ke organisasi advokat yang lain.

Organisasi advokat yang terpecah belah dan pada akhirnya akan merugikan masyarakat pencari keadilan. Mungkin ada baiknya, advokat dapat belajar dari profesi-profesi lain misalnya notaris dan dokter yang kuat secara organisasi sehingga dapat mengayomi anggotanya dan membuat ikatan yang kuat di antara sesama rekan sejawat.

Salah satu bukti dari lemahnya organisasi advokat saat ini adalah kedudukan advokat yang masih kurang diperhitungkan kesejajarannya dengan penegak hukum lainnya (polisi, jaksa, dan hakim). Meskipun menurut advokat senior Frans Hendra Winarta, advokat tidak dapat dikatakan sebagai penegak hukum, melainkan suatu profesi hukum, penulis berpendapat advokat harus dianggap setara dengan penegak hukum lainnya.

Fakta di lapangan menunjukkan, saat ini banyak advokat yang dilaporkan secara pidana atau digugat ketika sedang menjalankan profesinya secara sah dan tidak diizinkannya advokat untuk mendampingi kliennya sebagai saksi oleh lembaga penegak hukum, misalnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Selain itu, konsep DAN dalam Pasal 43 RUU Advokat dikhawatirkan sarat dengan potensi untuk dapat diintervensi. Dalam rancangan tersebut telah diatur bahwa Anggota DAN dipilih oleh DPR berdasarkan calon yang diusulkan oleh Presiden. Padahal, DAN mempunyai salah satu kewenangan yang sangat krusial yaitu untuk memeriksa pelanggaran kode etik advokat di tingkat banding, sehingga independensinya patut untuk diragukan, misalnya dalam hal adanya kontrol advokat terhadap jalannya pemerintahan.

Akhir kata, penulis berpendapat bahwa RUU Advokat ini masih perlu dikaji ulang lagi secara mendalam baik dari segi yuridis, sosiologis dan filosofis. Apakah benar RUU Advokat ini memang dirancang untuk melindungi kepentingan advokat dan masyarakat pencari keadilan atau hanya merupakan implementasi dari kepentingan golongan tertentu.

Selain itu, yang tidak kalah penting adalah menyelaraskan RUU Advokat dengan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang seharusnya dapat lebih diprioritaskan pengesahannya. Untuk mengakhiri polemik ini, maka menurut hemat penulis, sebaiknya nama organisasi advokat dapat ditentukan secara tegas dalam undang-undang, serta dibebaskan dari potensial intervensi lembaga yudikatif, legislatif dan eksekutif.

Last but not least, dengan tulus dan tanpa bermaksud menggurui, PERADI sebagai salah satu wadah tunggal yang saat ini masih diakui oleh MK dan Mahkamah Agung (MA) melalui Putusan MK Nomor 066/PUU-II/2004dan surat Ketua MA Nomor 089/KMA/VI/2010, diharapkan dapat lebih menampung aspirasi para advokat dan para calon advokat, transparan, komunikatif, membuka kesempatan anggota untuk menjadi pengurus bukan karena kedekatan personal, serta bukan hanya sekadar menjadi tempat registrasi ulang advokat setiap 2 tahun sekali, akan tetapi dapat menjadi organisasi yang dapat mengayomi dan memperjuangkan hak-hak dan kepentingan anggotanya. Bersatulah Advokat Indonesia !

Fiat justitia ne pereat  mundus (tegakkanlah keadilan agar dunia tidak runtuh)

*Penulis adalah advokat dan pengajar jurusan hukum bisnis pada Universitas Bina Nusantara.
**Tulisan ini sama sekali tidak mewakili kepentingan PERADI atau pihak manapun juga, penulis juga tidak menjabat sebagai pengurus organisasi advokat tertentu.


[i]Undangan bagi para advokat PERADI untuk melakukan aksi damai disosialisasikan melalui media social seperti facebook dan blackberry messenger, salah satunya oleh Advokat Senior James Purba, SH, MH

[ii]http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol10940/yap-thiam-hien-pelita-bantuan-hukum-yang-tak-kunjung-padam

[iii]http://www.ikadin.or.id/ikadin/?p=news&id=44

[iv]Vide kitab advokat Indonesia hal 30-95

Tags:

Berita Terkait