Peneliti Curiga Ada Kejanggalan di Naskah Akademik RUU Advokat
Berita

Peneliti Curiga Ada Kejanggalan di Naskah Akademik RUU Advokat

Naskah akademik RUU Advokat sulit didapat.

Ali
Bacaan 2 Menit
Peneliti PSHK Miko Susanto Ginting. Foto: pshk.or.id
Peneliti PSHK Miko Susanto Ginting. Foto: pshk.or.id
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Susanto Ginting mencurigai ada kejanggalan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Advokat, salah satunya menyangkut naskah akademik.

“Hingga hari ini, kami yang setiap hari memantau DPR belum memperoleh naskah akademik RUU Advokat. Kabar yang kami dapat, ternyata memang RUU ini tidak ada naskah akademiknya,” ujar Miko dalam diskusi Quo Vadis RUU Advokat di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, Senin (9/9).

Miko mengatakan dengan tidak disampaikannya naskah akademik itu, maka akan sulit menilai urgensi dari RUU ini. “Apa urgensinya? Mengapa pergantian UU, bukan perubahan. Lalu, misalnya apa latar belakang Dewan Advokat Nasional? Jadi, perdebatan kita selama ini tidak jelas,” tuturnya.

“Kita bisa saja memperdebatkan substansi, tetapi harus tahu latar belakangnya. Dan itu seharusnya ada di naskah akademik,” sambungnya.

Lebih lanjut, Miko merujuk ke Pasal 43 ayat (3) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan itu menyatakan bahwa “Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik”. “Jadi, naskah akademik itu wajib dalam pembahasan RUU,” ujarnya.

Wakil Ketua Pengurus Pusat Bantuan Hukum Perhimpunan Advokat Indonesia (PBH PERADI) Dwiyanto ikut angkat bicara seputar naskah akademik. Dwiyanto yang hadir sebagai peserta diskusi mengungkapkan bahwa naskah akademik itu sempat ditunjukan kepada para pengurus PERADI oleh Ketua Panja RUU Advokat Sarifuddin Sudding.

“Kemarin kita roadshow ke sejumlah fraksi. Ketika kami bertemu dengan Ketua Fraksi Hanura yang juga Ketua Panja RUU Advokat, dia sempat keluarkan dokumen naskah akademik. Cuma, agak herannya, isi naskah akademik dan RUU nggak nyambung. Itu kata Sudding,” ungkap Dwiyanto.

Oleh karena itu, Dwiyanto mempertanyakan naskah akademik tersebut. “Orang yang kompeten saja ragu dengan naskah akademik itu,” ujarnya.

Miko berpendapat bila ada perbedaan antara naskah akademik dengan isi RUU, maka ada dua kemungkinan. Pertama, RUU dibuat terlebih dahulu, baru kemudian naskah akademik. Kedua, RUU dan naskah akademik dibuat secara bersamaan. Padahal, idealnya, naskah akademik yang menjadi dasar pembuatan RUU harusnya dibuat terlebih dahulu.

“Selain itu, mengapa naskah akademik itu tidak disebarluaskan,” tambah Miko.

Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra M Hamzah tidak heran bila pembahasan RUU ini tidak didahului dengan pembuatan naskah akademik. Menurutnya, banyak RUU di Indonesia memang dibuat dengan cara seperti itu.

“Bukan cuma RUU Advokat. Banyak UU di Indonesia yang dimulai dengan mengetik pasal per pasal. Padahal, itu tugas paling akhir dalam pembahasan RUU. Ini justru naskah akademik yang paling akhir,” ujarnya.

Koordinator Kontras Haris Azhar justru menilai bahwa RUU ini hanya sebagai RUU rekonsiliasi untuk organisasi advokat yang berseteru. Ia menunjuk ketika DPR merumuskan Dewan Advokat Nasional (DAN), tetapi di dalam RUU itu tidak jelas rumusan multibar (banyak organisasi advokat).

“Negara-negara yang menggunakan multibar, singlebar, atau sistem kamar seperti di Inggris berasal dari proses yang panjang dan kesadaran mereka mau menuju ke arah mana,” ujarnya pada kesempatan yang sama.

“Ini kita nggak tahu gagasannya seperti apa? Maunya kemana? Tiba-tiba muncul. Makanya, kita perlu menolaknya secara tegas,” pungkas Haris. 
Tags:

Berita Terkait