Quo Vadis RUU Advokat, Multi Bar atau Single Bar?
Kolom

Quo Vadis RUU Advokat, Multi Bar atau Single Bar?

Apakah benar RUU Advokat ini memang dirancang untuk melindungi kepentingan advokat dan masyarakat pencari keadilan atau hanya merupakan implementasi dari kepentingan golongan tertentu?

Bacaan 2 Menit

Dengan spirit persatuan yang pernah dicita-citakan para pendahulunya, delapan oranisasi tersebut tergabung dalam Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI), yang kemudian pada tanggal 23 Mei 2003 melahirkan Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) yang masih digunakan sampai dengan saat ini. Dapat dikatakan KKAI dan KEAI tersebut merupakan cikal bakal lahirnya masterpiece UU Advokat yang pertama sekaligus dan juga lahirnya PERADI yang didirikan dengan Akta Pernyataan Pendirian No. 30 yang dibuat di hadapan Notaris Buntario Tigris sebagai realisasi dari amanat Pasal 32 UU Advokat untuk mendirikan Wadah Tunggal organisasi advokat.[iv]

Ironisnya, 9 tahun setelahnya dan masih di bulan yang sama (September) DPR justru berencana untuk mengesahkan RUU Advokat dengan konsep multi bar pada tanggal 24 September 2014.

Perjalanan UU Advokat dan PERADI telah mengalami ujian yang tidak sedikit. Bayangkan saja, sudah terhitung kurang lebih 17 kali UU Advokat di-judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) dan munculnya beberapa organisasi advokat yang baru. Misalnya Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang diduga salah satunya dipicu oleh adanya berbagai macam persoalan internal di kalangan advokat, seperti perseteruan dua advokat, Hotman Paris Hutapea dan Todung Mulya lubis yang berujung di-disbar-nya Todung Mulya Lubis oleh Dewan Kehormatan Daerah (DKD) DKI Jakarta.

Buntut perpecahan organisasi advokat telah dirasakan banyak kalangan, bukan hanya bagi masyarakat pencari keadilan melainkan juga calon advokat yang berhak untuk mendapatkan “SIM” untuk menjalankan profesinya. Penulis sendiri sempat mengalami betapa sulitnya perjuangan menunggu selama setahun lebih untuk dapat disumpah sebagai advokat yang sah pada tahun 2010, bertempat di hotel Grand Melia, yang mana pada waktu itu berlangsung sangat ricuh dan hampir saja membuat acara pengambilan sumpah Advokat menjadi batal. Di sisi yang lain, rekan-rekan calon advokat dari KAI juga merasa diperlakukan tidak adil karena tidak dapat diambil sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Tinggi.

Mencermati konsep multi bar yang diusung Pasal 15 dan 16 RUU Advokat yang menyatakan bahwa “organisasi advokat (dapat) didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 35 (tiga puluh lima) orang advokat dengan akta notaris”, dapat membuat organisasi-organisasi advokat yang baru semakin menjamur.

Tanpa bermaksud mengesampingkan hak konstitusional dan derogable rights untuk berorganisasi, dengan munculnya banyak organisasi advokat yang “sah” secara undang-undang, berpotensi untuk membuat penegakan kode etik advokat menjadi sulit untuk dilaksanakan. Misalnya dalam hal adanya advokat dari organisasi A yang dihukum karena pelanggaran etik, kemudian advokat tersebut tidak menerima putusan tersebut dan selanjutnya berpindah ke organisasi advokat yang lain.

Organisasi advokat yang terpecah belah dan pada akhirnya akan merugikan masyarakat pencari keadilan. Mungkin ada baiknya, advokat dapat belajar dari profesi-profesi lain misalnya notaris dan dokter yang kuat secara organisasi sehingga dapat mengayomi anggotanya dan membuat ikatan yang kuat di antara sesama rekan sejawat.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait