Potensi Disfungsi Baznas Pasca UU Pengelolaan Zakat
Kolom

Potensi Disfungsi Baznas Pasca UU Pengelolaan Zakat

Harapan besar yang dibebankan kepada BAZNAS oleh UU Pengelolaan Zakat baru untuk mewujudkan pengelolaan zakat nasional yang akuntabel akan sulit terealisasi.

Bacaan 2 Menit

 

Persoalan “Lembaga Pemerintah Non-Struktural”

Selain terkait dengan sifat mandiri, Pasal 5 ayat (3) UU Pengelolaan Zakat baru juga menggunakan satu istilah sebagai kategori dari kelembagaan BAZNAS, yaitu “lembaga pemerintah nonstruktural”. Istilah ini seakan benar, namun apabila ditelisik lebih jauh sulit untuk dipahami maksudnya. Istilah untuk mengkategorikan lembaga sisipan negara di Indonesia saat ini dikenal dua kelompok besar, yaitu lembaga non-struktural dan lembaga pemerintah non-kementerian. Kedua kelompok ini tidak bisa dicampur satu sama lain, karena memiliki karakteristik yang berbeda. Untuk mengetahui karakteristik tersebut, salah satunya dapat dilihat dari pengertian masing-masing.

Lembaga non-struktural dikenal dengan pengkategorian bagi lembaga-lembaga yang berada di luar kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Lembaga non-struktural biasa dibentuk dengan memberikan sifat mandiri karena bertugas sebagai lembaga penyeimbang, atau pengawasan eksternal, bagi pelaksanaan dari ketiga kekuasaan tersebut.

Sedangkan untuk lembaga pemerintah non-kementerian, pengertiannya dapat merujuk kepada Pasal 25 ayat (2) UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yang menyebutkan bahwa lembaga pemerintah nonkementerian berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri yang mengkoordinasikan.

Apabila dikaitkan dengan pengaturan mengenai BAZNAS dalam UU Pengelolaan Zakat baru, dapat dipahami bahwa lembaga ini memang seakan berdiri dalam dua wilayah yang saling bertentangan karakteristiknya. Sehingga cukup mengkonfirmasi bahwa pengaturan BAZNAS dalam UU Pengelolaan Zakat tidak menegaskan bentuk yang jelas. Kondisi tersebut tentu berpotensi membawa implikasi yang serius, terutama pada kinerja BAZNAS ke depan.

 

Potensi Implikasi Kelembagaan Baznas

Tulisan di atas telah secara panjang lebar menjelaskan bagaimana BAZNAS diberikan “hadiah” sifat mandiri dalam UU Pengelolaan Zakat baru, namun kemudian seakan tidak diberikan peluang lebih untuk merealisasikan kemandiriannya tersebut. Problematika kelembagaan seperti ini sudah kerap terjadi di Indonesia. Walhasil banyak lembaga sisipan negara yang akhirnya tidak berperan signifikan, atau mengalami disfungsi dalam implementasi tugas dan wewenangnya. Kondisi ini juga berpotensi terjadi terhadap BAZNAS.

Harapan besar yang dibebankan kepada BAZNAS oleh UU Pengelolaan Zakat baru untuk mewujudkan pengelolaan zakat nasional yang akuntabel akan sulit terealisasi. Implikasi ini berpotensi terjadi karena dalam melaksanakan wewenangnya tanpa kemandirian, BAZNAS akan terus berada dibawah komando Pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama. Sehingga kondisi ini kemudian akan menihilkan mekanisme check and balances atau pengawasan pengelolaan zakat, yang seharusnya juga diperankan oleh Menteri Agama sebagai bagian dari Pemerintah.

Potensi implikasi dari pengaturan kelembagaan BAZNAS dalam UU Pengelolaan Zakat baru ini bukan hanya terhadap pengelolaan zakat, tetapi juga terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia secara umum. Bentuk kelembagaan BAZNAS yang mencampuradukkan antara lembaga nonstruktural dan lembaga pemerintah nonkementerian, yang berimbas kepada penempatan lembaga mandiri di bawah Menteri akan menjadi persoalan ketatanegaraan tersendiri, atau bahkan menjadi preseden buruk bagi pengaturan kelembagaan negara di Indonesia.

Tags: