Perihal Keputusan Fiktif (Yang Belum) Positif
Kolom

Perihal Keputusan Fiktif (Yang Belum) Positif

Pemerintah harus segera menerbitkan Perpres Fiktif Positif.

Bacaan 8 Menit

Sampai pada titik ini, yang menjadi permasalahan saat ini adalah kemanakah warga masyarakat mengajukan upaya hukum terhadap permohonan yang telah diajukannya kepada pejabat pemerintahan namun diabaikan/tidak dijawab, sedangkan pejabat pemerintahan itu sendiri tidak mengetahui bagaimana prosedur maupun bentuk Keputusan Fiktif Positif yang harus ditetapkannya.

Kebersisteman Hukum Fiktif Positif

Konsep Fiktif Positif merupakan sub sistem dari sistem hukum administrasi pemerintahan, di mana sistem hukum administrasi pemerintahan antara lain meliputi penegakannya oleh Peradilan TUN. Peradilan TUN sendiri merupakan sub sistem dari sistem kekuasaan kehakiman. Pada akhirnya, baik sistem hukum administrasi pemerintahan maupun sistem kekuasaan kehakiman merupakan sub sistem dari sistem hukum nasional.

Sistem hukum merupakan suatu produk kesadaran hukum, yang terdiri atas keseluruhan aturan hukum dan putusan hukum yang saling berkaitan (Bruggink, 1999: 137). Sebagai system of reasons, sistem hukum meliputi aturan tertulis dan tidak tertulis, putusan pengadilan, dan asas-asas hukum. Penyelesaian permasalahan terkait Fiktif Positif dapat dilakukan melalui pendekatan sistem hukum ini, mengingat silang sengkarut ini terjadi akibat dari belum diundangkannya aturan tertulis berupa Perpres Fiktif Positif. Sistem hukum memiliki karakter utuh dan tidak menghendaki adanya konflik, pertentangan ataupun kontradiksi antar subsistem; dan apabila ditemukan adanya konflik antar subsistem maka akan segera diselesaikan oleh dan di dalam sistem itu sendiri serta tidak dibiarkan berlarut-larut (Sudikno Mertokusumo, 1988: 102).

Dalam konteks kebersisteman hukum terkait Fiktif Positif, aturan hukum telah mengharuskan diterbitkannya Perpres (Pasal 175 jo. Pasal 185 UUCK). Mengingat Perpres tersebut belum juga diterbitkan sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap permohonan dari warga masyarakat, maka pada asasnya sistem hukum telah menyediakan sarana penyelesai berupa hukum antar waktu/hukum intertemporal/hukum transitoir/hukum peralihan (Kusumadi Pudjosewojo, 1959: 69). Berdasarkan Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011, hukum peralihan ini dapat ditempatkan dalam Ketentuan Peralihan suatu UU, yang memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama terhadap peraturan perundang-undangan yang baru. Tujuan Ketentuan Peralihan adalah untuk menghindari kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat yang terkena dampak perubahan UU, dan mengatur tata cara transisi (Dani Elpah, 2020: 17).

Ketentuan Peralihan UUCK pada Bab XIV ternyata hanya mengatur tentang peralihan perizinan berusaha, namun tidak mengatur peralihan kewenangan pemeriksaan Permohonan Fiktif Positif. Hal ini tentu menimbulkan kekosongan dan ketidaksinambungan hukum yang mengakibatkan hilangnya kepastian dan perlindungan hukum bagi warga masyarakat yang telah mengajukan Permohonannya kepada Pemerintah. Jika sebelumnya terdapat perlindungan hukum berupa Gugatan Fiktif Negatif berdasar Pasal 3 UU 5/1986 dan Permohonan Fiktif Positif berdasarkan Pasal 53 UUAP sebelum diubah UUCK, kini perlindungan hukum tersebut direnggut begitu saja seakan tanpa ada jalan keluar.

Untungnya, kajian hukum bukan hanya bersifat problematikal yang ditujukan untuk menyelesaikan suatu kasus berdasarkan aturan tertulis, namun juga bersifat sistematisasi yang ditujukan untuk meletakkan putusan/keputusan hukum dalam sistem hukum yang koheren. Salah satu metode untuk mewujudkan koherensi sistem hukum tersebut adalah metode logika, yaitu penggunaan asas-asas dan hukum-hukum logika untuk membangun struktur logikal atas aturan-aturan hukum yang volumenya semakin bertambah banyak, agar aturan hukum tersebut tetap tertata dalam suatu sistem hukum yang koheren (Hoecke, 1984: 194). Asas hukum adalah pikiran dasar yang terdapat di belakang dan di dalam aturan tertulis, yang fungsinya antara lain untuk melengkapi sistem hukum (Klanderman, dalam Kusnu Goesniadhie, 2010: 34-35).

Dalam konteks tidak adanya aturan tertulis berupa ketentuan peralihan yang mengatur Fiktif Positif dalam UUCK sehingga mengakibatkan hilangnya hak dan kepastian hukum dari masyarakat, maka perlindungan hukum melalui permohonan ke PTUN merupakan jalan keluar sementara sampai diterbitkannya Perpres Fiktif Positif. Hal ini sesuai dengan kebersisteman hukum, dengan pertimbangan: pertama, salah satu asas materiil dalam suatu UU adalah asas ketertiban dan kepastian hukum, di mana setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum, termasuk jaminan kepastian hukum atas Keputusan Fiktif Positif.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait