Percepatan Sidang Istimewa
Kolom

Percepatan Sidang Istimewa

Tuntutan mundur bagi Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengeras dan menimbulkan polemik pada soal-soal legal formal ketatanegaraan. Bola yang dilemparkan oleh Ketua DPR Akbar Tandjung yang menyatakan bahwa secara konstitusional DPR tidak dapat mempercepat Sidang Istimewa (SI), disambut oleh Ketua MPR Amien Rais bahwa MPR pun tidak dapat melakukan hal itu.

Bacaan 2 Menit

Dalam mekanisme SI, bukan mosi tidak percaya yang dijatuhkan atas presiden, melainkan pertanggungjawaban atas haluan negara (mandat) yang diberikan kepadanya. Dari pertanggungjawaban inilah kemudian MPR dapat memutuskan layak atau tidaknya presiden yang bersangkutan meneruskan masa jabatannya. Oleh karena itu, percepatan SI dengan cara demikian sama sekali tidak relevan dengan sistem presidensil yang dianut UUD 1945.

Mungkinkah ada "celah" hukum?

UUD 1945 menyatakan bahwa kedudukan MPR adalah "lembaga tertinggi negara yang menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat". Walaupun kedudukan ini sudah tidak lagi relevan dan harus segera diganti, dengan posisi yang hingga sekarang belum direvisi ini, dicabutnya mandat oleh MPR dengan suara mayoritas secara politik memang mungkin untuk dilakukan. Tetapi pertanyaan yang harus dikemukakan kemudian adalah: apakah kita akan mengambil "celah" itu?

Perlu dicermati bahwa dilakukannya upaya tersebut akan membentuk suatu preseden baru dalam ketatanegaraan. Walaupun baru berlaku sekali, tindakan itu akan dapat dijadikan rujukan dalam praktek ketatanegaraan yang akan datang. Akibatnya, bukan tidak mungkin bahwa presiden Indonesia di masa yang akan datang akan dengan mudah digoyahkan kedudukannya oleh kekuatan politik yang berseberangan. Apabila hal ini yang akan terjadi, sistem pemerintahan presidensil yang dianut oleh Indonesia akan semakin rancu dengan sistem parlementer.

Persoalannya bukan terletak semata-mata pada masalah teoritis dalam perdebatan soal sistem parlementer dan presidensil. Karena, sistem pemerintahan memang mengandung banyak varian berdasarkan kondisi masing-masing negara. Namun dalam analisis lebih jauh, variasi-variasi dalam sistem pemerintahanpun tercipta dalam dari diskursus untuk mencapai sistem politik yang demokratis tanpa meminggirkan salah satu tujuan negara untuk memberikan iklim politik yang kondusif bagi warga negaranya.

Dalam konteks ini pula sistem ketatanegaraan Indonesia seharusnya diletakkan. Sistem politik yang cenderung parlementer dalam soal masa jabatan kepala pemerintahan, yang dipadu dengan karakteristik sistem presidensil yang memposisikan presiden sebagai kepala pemerintahan dengan kabinet yang bukan bagian dari parlemen, akan menimbulkan pemerintahan yang sama sekali tidak stabil.

Apabila model ini yang akan dilanggengkan, tujuan negara untuk memberikan warganya perlindungan dan kesejahteraan akan sulit untuk dicapai. Bahkan dalam kondisi yang sekarang, menjadi sulit untuk dibayangkan sulitnya perjalanan bangsa ini dalam masa transisi menuju demokrasi. Agenda-agenda reformasi yang saat ini pun sudah tertunda akan menjadi semakin tidak jelas.

Akhirnya, persoalannya memang bukan hanya berada di seputar setuju atau tidak menggantikan Presiden Presiden Abdurrahman Wahid. Akan tetapi, bagaimana menjaga agar masa transisi ini dapat dijalani dengan selamat dengan menuntaskan agenda-agenda reformasi yang ada.

Tags: