Percepatan Sidang Istimewa
Kolom

Percepatan Sidang Istimewa

Tuntutan mundur bagi Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengeras dan menimbulkan polemik pada soal-soal legal formal ketatanegaraan. Bola yang dilemparkan oleh Ketua DPR Akbar Tandjung yang menyatakan bahwa secara konstitusional DPR tidak dapat mempercepat Sidang Istimewa (SI), disambut oleh Ketua MPR Amien Rais bahwa MPR pun tidak dapat melakukan hal itu.

Bacaan 2 Menit

Kemudian, untuk membuat suatu ketetapan, MPR harus mengadakan sidang yang dihadiri oleh duapertiga anggota MPR dan harus disetujui oleh lebih dari setengah anggota yang hadir. Padahal, kesempatan pertama MPR mengadakan sidang baru akan terjadi pada Sidang Tahunan 2001 di bulan Agustus mendatang, yang melampaui batasan empat bulan sejak dikeluarkannya memorandum DPR yang pertama. Oleh karena itu, tidak ada cara "konstitusional" yang dapat ditempuh untuk menjatuhkan presiden, selain dari mekanisme SI yang sudah ditetapkan dalam Tap. III/1978.

Percepatan SI dan Sistem Presidensil

Pendapat lainnya yang sempat mengemuka adalah MPR sebagai lembaga yang memberikan mandat kepada presiden dapat menarik mandatnya itu melalui persetujuan mayoritas anggotanya. Cara ini dianggap sah dan konstitusional, karena bagaimanapun MPR adalah lembaga tertinggi yang dapat mengatasi konflik dalam lembaga-lembaga tinggi di bawahnya.

Dari segi yuridis, hal ini memang dapat dilakukan, mengingat bahwa Tata Tertib MPR mengatur Sidang Istimewa Majelis adalah sidang MPR selain Sidang Umum dan Sidang Tahunan; sidang untuk meminta pertanggungjawaban presiden; dan sidang untuk mengisi lowongan jabatan presiden apabila presiden berhalangan tetap. Dengan adanya klausul ini, MPR dapat saja menyelenggarakan suatu SI untuk kemudian mencapai suara mayoritas untuk mencabut mandat presiden.

Namun secara teoritis, sistem pemerintahan presidensil yang dianut oleh Indonesia tidak mengenal adanya mosi tidak percaya dari parlemen yang berakibat pada jatuhnya kepala pemerintahan. Sistem presidensil murni mengandung tiga karakteristik utama, yaitu presiden yang merupakan hasil pemilihan umum,  tidak dapat dijatuhkan dalam masa jabatannya, dan memimpin suatu pemerintahan yang ditunjuk oleh dirinya sendiri (Sartori, 1997: 84).

Sistem yang dianut oleh UUD 1945 memang tidak dapat dikatakan memenuhi karakteristik ini dengan adanya presiden dan wakil presiden yang dipilih oleh MPR. Walau demikian, menganalogikan sistem yang diadopsi oleh UUD 1945 dengan sistem parlementer yang memungkinkan parlemen menjatuhkan mosi tidak percaya kepada presiden juga sama sekali tidak tepat.

Prosedur SI yang diatur dalam hukum tata negara Indonesia memang suatu hal yang unik, ditujukan untuk mencegah adanya konflik politik berkepanjangan antara presiden dan DPR yang dapat menyebabkan jalannya pemerintahan tidak lagi efektif. Berdasar pada titik inilah beberapa ahli hukum tata negara kemudian mengkategorikan sistem ini sebagai "quasi-presidensial" (Kusnardi dan Ibrahim, 1988: 180).

Akan tetapi, perlu ditelaah lebih jauh bahwa prosedur ini lebih terlihat didasarkan pada logika bahwa mandat presiden diberikan oleh MPR sebagai "pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat" (Penjelasan UUD 1945) daripada soal deadlock politik antara kepala pemerintahan yang memimpin anggota kabinet yang merupakan ruling party dalam parlemen pada sistem parlementer.

Halaman Selanjutnya:
Tags: