Mudik, Jalan Tol dan Etalase Kultur Hukum Kita
Kolom

Mudik, Jalan Tol dan Etalase Kultur Hukum Kita

Soal kultur hukum, diakui atau tidak, kita masih memandang sebelah mata. Jarang disentuh, apalagi digarap serius.

Bacaan 7 Menit

Ciri ketiga, berjiwa feodal. Banyak yang mengedepankan kehebatan diri, terutama jabatan. Mentang-mentang menjabat, mentang-mentang pula perilakunya. Merasa diri tinggi, condong tinggi hati, dan cenderung ‘sok’ sekaligus minta dihormati. Merasa gagah kalau orang di sekitarnya bertekuk tunduk. Ciri keempat, orang Indonesia itu berwatak lemah. Karakternya kurang kuat.

Dua ciri lainnya ialah orang Indonesia itu percaya takhayul dan satu lagi, manusia Indonesia itu artistik, karena religiusitas yang kental membawanya dekat dengan alam. Selain keenam ciri itu, Mochtar Lubis juga menyebut ciri-ciri lain, diantaranya boros, suka yang instan-instan, penggerutu, rasa humor yang baik, dan cepat belajar. Tulisan itu menuai respon beragam. Sejumlah tokoh memberikan tanggapan. Psikolog UI, Sarlito Wirawan, pendiri BNI, Margono Djojohadikusumo, sastrawan Wildan Yatim yang juga ahli Biologi memberikan respon. Menariknya, semua respon itu dimuat di buku yang sama.

Bagi saya, pidato Mochtar Lubis itu masih benar adanya hingga kini. Ciri-ciri itu pula yang nyatanya berkontribusi membentuk perwajahan legal culture kita. Setidaknya itu terbukti dan tergambar dalam perilaku hukum di jalan tol sepanjang rute mudik. Mengacu pada teori Lawrence M. Friedmann mengenai sistem hukum yang terdiri atas substansi, struktur, dan kultur hukum, agaknya selama ini kita terlalu menaruh konsentrasi pada substansi dan struktur hukum. Sementara soal kultur hukum, diakui atau tidak, kita masih memandang sebelah mata. Jarang disentuh, apalagi digarap serius.

Kampus-kampus, lembaga penegak hukum, dan para cendekiawan hukum, nampaknya perlu sentilan lebih keras, entah seperti apa bentuknya, agar segera mau membagi pikiran (dan anggaran) secara adil untuk menaikkan derajat dan kadar legal culture kita ke jenjang yang lebih tinggi dan semestinya. Utamanya agar ketaatan hukum, ya, hukum dalam bentuk apapun, tak lagi cuma dimotivasi soal kepentingan belaka. Melainkan, karena kita sama-sama butuh dan merindukan ketertiban dan keteraturan dalam hidup berdampingan bersama. Minal aidzin wal faidzin. Selamat kembali berkarya!

*)Dr. Fajar Laksono Suroso, Pengajar FH Universitas Brawijaya dan Pengurus Pusat APHTN-HAN.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait