Mudik, Jalan Tol dan Etalase Kultur Hukum Kita
Kolom

Mudik, Jalan Tol dan Etalase Kultur Hukum Kita

Soal kultur hukum, diakui atau tidak, kita masih memandang sebelah mata. Jarang disentuh, apalagi digarap serius.

Bacaan 7 Menit

Mudah dijumpai, mereka yang memacu mobil di bahu jalan. Bahkan dengan kecepatan tinggi. Padahal, mereka tahu persislah peruntukan bahu jalan itu untuk apa. Tapi mereka abai. Tancap gas terus. Gampang pula ditemukan, orang-orang berjiwa feodal di jalanan. Mobil berplat pribadi dipasangi rotator atau strobo. Melaju kencang dari belakang. Lalu keluarkan suara berisik di belakang memaksa diberi jalan. Kalaupun tanpa strobo, mereka kedip-kedipkan dim alias lampu jauh berkali-kali. Padahal di depannya, kita sedang dalam posisi benar, memacu kecepatan sesuai ketentuan maksimal. Seolah-olah mereka paling penting dan punya kuasa. Karena risih, kita pula yang minggir. Sing waras ngalah, kata saya sebagai orang Jawa.

Ada lagi perilaku lain menjengkelkan. Apa? Buka kaca jendela, lalu membuang sesuatu dari dalam mobil. Entah tisu, puntung rokok, plastik bungkus makanan ringan, kulit buah, sampai botol air mineral. Bagi saya, dan mungkin sebagian besar orang, itu perilaku menyebalkan. Apa sulitnya menampung sampah itu dulu, lalu nanti dibuang di tempatnya ketika berhenti.

Yang tak kalah menjengkelkan lainnya juga ada. Ini saya temukan. Ketika kebijakan one way diterapkan, semua jalur ke arah Jakarta, nampak di jalur kiri ada kemacetan lumayan panjang. Ada apa gerangan? Rupanya ada mobil berhenti di lajur paling kanan. Tahu di depannya tampak gejala macet, sementara jalur sebelah terlihat lebih lancar, ia bersikeras pindah ke jalur kanan secara ilegal. Si sopir turun, lalu terlihat memaksa memindahkan jejeran cone oranye yang dikaitkan dengan tali sebagai devider.

Saya geleng-geleng tak habis pikir melihat perilaku itu, walau sepintas lalu. Wajar kalau orang di belakangnya mengumpat. Tapi kalau nanti disalah-salahkan ia pasti tak mau dan berdalih. Malah mungkin balik memaki orang atau petugas yang menyalahkan. “Tahu di depan macet, sementara jalur sebelah lancar, kenapa tidak dari tadi pembatas ini dibuka?” Mungkin akan begitu dia berkata-kata. Merasa benar dan wajar saja dengan perilaku itu. Padahal jelas, itu perilaku ilegal yang barbar.

Yang menyedihkan, di antara pengendara berperilaku buruk itu, tampak mobil-mobil yang dilekati simbol-simbol instansi negara. Bahkan didapati juga simbol-simbol agama tertentu. Model simbolnya macam-macam. Sungguh ironi. Kata Kyai Haji Sofwan Nizhomi dalam hikmah halal bi halal di kantor saya 10 Mei lalu, perilaku itu menunjukkan perilaku dan ciri-ciri orang munafik. Di luarnya memajang simbol kemuliaan, tapi sama sekali tak tecermin dalam perilaku orang-orangnya. Malah perilaku demikian dapat dikatakan menodai simbol-simbol mulia itu. Makanya, Kyai Sofwan bilang, sejauh ini beliau menahan diri untuk tak ikut-ikutan menempelkan simbol (agama) di mobilnya. Kendatipun beliau itu Kyai Haji. Takutnya turut jadi munafik, mengotori simbol yang dipasang. Itu inti ceramah beliau yang saya ingat.

Mochtar Lubis Masih Benar

Masih banyak perilaku hukum buruk lain yang bisa diceritakan. Tetapi sampai di situ saja, kita sudah mendapati kesimpulan tentang bagaimana penampakan legal culture manusia Indonesia. Praktik dan kesimpulan itu relevan dengan tulisan wartawan dan budayawan Mochtar Lubis 45 tahun silam tentang ciri orang atau manusia Indonesia. Itu disampaikan dalam pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki pada 6 April 1977. Pidatonya diberi judul: “Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban”. Tiga belas tahun kemudian, 1990, pidato itu dibukukan. Diberinya judul: "Manusia Indonesia".

Ada enam ciri menonjol dari manusia Indonesia, kata Mochtar Lubis. Ada yang baik, ada yang buruk. Hipokrit atau munafik, itu ciri pertama manusia Indonesia menurut Lubis. Terbiasa pura-pura. Lain panggung depan, lain pula di belakang. Ciri kedua, segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatan, keputusan, kelakuan, dan pikiran, dan sebagainya. Terlalu sering ada kata “bukan saya” ketika ada kesalahan. Saling lempar tanggung jawab kalau ada kesalahan. Sebaliknya, rebutan ‘cari muka’ tatkala ada keberhasilan. Buru-buru semua menyorongkan kontribusi dan perannya.

Tags:

Berita Terkait