Mudik, Jalan Tol dan Etalase Kultur Hukum Kita
Kolom

Mudik, Jalan Tol dan Etalase Kultur Hukum Kita

Soal kultur hukum, diakui atau tidak, kita masih memandang sebelah mata. Jarang disentuh, apalagi digarap serius.

Bacaan 7 Menit

Ada arahan petugas. Ada marka jalan. Yang putus-putus maupun yang panjang menyambung, masing-masing punya arti dan konsekuensi. Ada bahu jalan, di kanan dan di kiri, dengan fungsi peruntukan darurat. Ada rambu kecepatan minimal-maksimal. Truk/bus gunakan lajur kiri. Ada larangan: jangan membuang apapun di jalan tol. Sekarang, bayar tol dengan uang elektronik. Pakai kartu. Uang sungguhan tak bisa dipakai membuka palang pintu tol. Dan banyak rambu-rambu lalin lainnya.

Termasuk, jangan lupa, ada deretan ‘pranata’ tak kasat mata, yaitu tata krama dan tata etika berlalu lintas. Semua aturan hukum itu dibuat agar tercipta ketertiban, keteraturan, kenyamanan, dan keselamatan bagi semua pengguna jalan tol, tanpa terkecuali. Artinya, itu semua wajib ditaati. Bukan begitu?

Tapi bagaimana praktiknya? Jika legal culture dipahami sebagai pandangan, sikap, maupun perilaku masyarakat berkenaan dengan hukum yang berlaku, maka bagaimana hukum-hukum itu disikapi? Ini akan berkaitan erat dengan perilaku hukum. Apa itu? Ialah perilaku yang dipengaruhi oleh aturan atau hukum (reacting to something going on the legal system).

Perilaku hukum ini bukan hanya soal taat atau tidak taat hukum. Tercakup juga di dalamnya, ‘use’ (menggunakan) atau ‘not use” (tidak menggunakan) aturan hukum. Lantas, bagaimana penampakan legal culture manusia Indonesia yang terpajang di dalam etalase?

Fungsi penting aturan hukum itu sebagai guiding behaviour (penuntun perilaku).

Sebagai penuntun, benar bahwa tidak ada aturan hukum yang 100 persen efektif. Bahwa ada yang taat dan tidak taat, itu pasti. Minimal, selalu ada toleransi dengan kadar beragam tergantung jenis perilaku. Baik taat atau tidak taat hukum, keduanya bersumber pada kesadaran hukum. Tapi kesadaran hukum tak identik dengan taat hukum. Ada legal consciouness as within the law. Kesadaran hukum yang kemudian diekspresikan dengan perilaku taat hukum. Ada legal consciouness as against the law. Kesadaran hukum yang mewujud dalam perilaku menentang atau melanggar hukum.

Kembali ke soal legal culture, walaupun tak absolut, saya condong percaya bahwa seseorang menaati atau tidak menaati aturan hukum itu lebih karena adanya kepentingan. Kalau selaras, aturan ditaati. Sebaliknya, aturan diingkari atau dilanggar manakala tak mendukung kepentingannya. Paling tidak, itulah potret paling kentara ketika bicara soal kultur hukum kita hari ini. Pusarannya sama, lagi- lagi soal kepentingan. Hingga kini, belum ketemu antitesis dari postulat ini.

Jalan Tol dan Etalase Kultur Hukum

Saya yakin, hampir semua pengguna jalan tol dalam momentum mudik kemarin itu punya kepentingan sama: cepat sampai tujuan dan selamat. Sama yakinnya juga bahwa mereka punya pengetahuan hukum (knowledge of the law) tentang apa saja yang boleh dan apa yang dilarang selama menjadi warga jalan tol. Mereka tahu dan sadar ada aturan hukumnya. Termasuk tahu konsekuensinya jika nekat melanggar. Minimal tiga: diumpat orang, ditilang polisi, atau kecelakaan. Terhadap aturan hukum itu, lahir macam-macam pilihan perilaku hukum. Yang taat banyak, dan itu bagus. Tapi tak sedikit yang memilih untuk tidak taat. Betapapun tahu, ketidaktaatannya itu sedikit banyak mengusik kenyamanan dan keselamatan orang lain, termasuk dirinya sendiri.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait