Modifikasi Hukum oleh Mahkamah Agung Melalui PERMA dan SEMA
Kolom

Modifikasi Hukum oleh Mahkamah Agung Melalui PERMA dan SEMA

Modifikasi melalui PERMA dan SEMA tersebut harus sejalan dengan desain hukum nasional.

Bacaan 7 Menit

Terlepas dari bentuk kontrol yudisiil (praktis) di atas, kontrol terkuat terhadap penerapan hukum (termasuk terhadap PERMA dan SEMA) adalah kontrol oleh ilmu pengetahuan hukum. Sebagaimana kita ketahui, kebenaran dalam ilmu hukum itu lebih bersifat normatif, diskursif, intersubjektif dan konstruktivistik, bukan “adequatio intellectus et rei”. Untuk mencapai kebenaran tersebut, penegakan hukum sangat terkait (dan terikat) dengan ilmu pengetahuan hukum.

Pengembanan hukum (rechtsbeoefening) terdiri atas dua tahap, yaitu tahap pemaparan (yang berintikan interpretasi) dan tahap sistematisasi. Tahap pemaparan berupa menghimpun, menata, menginventarisir dan menentukan isi (menginterpretasi) material/aturan hukum secara tepat. Selanjutnya, material hukum tersebut disistematisasi, yang kata van Hoecke untuk mewujudkan penyeragaman (unifikasi); rasionalisasi dan penyederhanaan sistem hukum; dan memudahkan penemuan hukum atas masalah yang belum diatur (B. Arief Sidharta, 2013, hlm 61-65). Pengemban hukum yang ditugaskan mewujudkan “kebenaran hukum” tersebut terbagi atas pengemban hukum teoritikal dan pengemban hukum praktikal, yang keduanya harus saling bersinergi.

MA sebagai pengemban hukum praktikal tidak bisa lepas dari pengemban hukum teoritikal (para ilmuwan hukum, yang berada di perguruan tinggi hukum, lembaga penelitian hukum, hingga media hukum). Semua produk kebijakan MA (termasuk modifikasi melalui PERMA dan SEMA) akan menjadi material hukum yang akan dikaji (juga dikontrol) oleh para pengemban hukum teoritikal (para ilmuwan hukum) tersebut.

Modifikasi hukum oleh MA melalui PERMA dan SEMA merupakan pemenuhan kebutuhan hukum agar terwujud keadilan substantif. Modifikasi yang diterapkan oleh MA tidak mengubah prinsip hukum dan keadilan yang telah ditetapkan melalui kodifikasi. Modifikasi melalui PERMA dan SEMA tersebut harus sejalan dengan desain hukum nasional. Kontrol atas PERMA dan SEMA dapat dilaksanakan secara yudisiil maupun kontrol oleh para ilmuwan hukum sebagai pengemban hukum praktikal.

*)Sudarsono, Kandidat Doktor pada FH Unair, penulis buku Petunjuk Praktis Beracara Di Peradilan TUN.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait