Modifikasi Hukum oleh Mahkamah Agung Melalui PERMA dan SEMA
Kolom

Modifikasi Hukum oleh Mahkamah Agung Melalui PERMA dan SEMA

Modifikasi melalui PERMA dan SEMA tersebut harus sejalan dengan desain hukum nasional.

Bacaan 7 Menit

Penyelenggaraan peradilan di sini berkaitan dengan hukum acara, sebagaimana Keputusan Ketua MA Nomor: 57/KMA/SK/IV/2016, yang mendefinisikan PERMA sebagai “peraturan yang berisi ketentuan bersifat hukum acara”. PERMA merupakan peraturan perundang-undangan yang harus dipatuhi dan mengikat warga masyarakat sebagaimana dimaksud UU 12/2011, oleh karenanya pembentukan PERMA harus mengikuti prosedur yang telah ditentukan, antara lain harus diundangkan dalam Berita Negara.

Berdasarkan dasar pembentukannya, secara teori terdapat dua jenis SEMA, yaitu SEMA sebagai peraturan kebijakan dalam arti umum pada lingkup pemerintahan (eksekutif) dan SEMA dalam arti khusus pada lingkup lembaga yudikatif. SEMA dalam arti yang pertama didasarkan pada diskresi sebagaimana dinyatakan dalam Bab IV UUAP, contohnya seperti SEMA 8/2020 tentang Pengaturan Jam Kerja Dalam Tatanan Normal Baru Pada Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya.

Sedangkan SEMA dalam arti kedua didasarkan pada Pasal 32 UU MA, di mana Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan peradilan yang berada di bawahnya, contohnya seperti SEMA 2/2019 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

SEMA tidak termasuk peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud UU 12/2011, namun dapat dikategorikan sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel), yang, meminjam  istilah almarhum Sudikno Mertokusumo, berlaku dan mengikat para “pemain” dalam “permainan peradilan”” (1984: 162). Keputusan Ketua MA Nomor: 57/KMA/SK/IV/2016 mendefinisikan SEMA sebagai “bentuk edaran pimpinan Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan, yang lebih bersifat administrasi dan juga memuat pemberitahuan tentang hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak”.

Berdasar definisi ini, materi SEMA adalah bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang bersifat administrasi peradilan (perkara) dan pemberitahuan tentang hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak. “Administrasi peradilan (perkara)” pada pokoknya adalah pengadministrasian hukum acara, sedangkan kalimat “pemberitahuan tentang hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak” adalah kalimat terbuka (open texture) yang dapat ditafsirkan secara lebih luas, baik atas hukum materiil, hukum acara, maupun administrasi umum (perkantoran) pada MA dan badan peradilan di bawahnya.

Sebagai “bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan”, SEMA mengatur secara intern lembaga peradilan, tidak berlaku umum. Meski demikian, penerapan SEMA dapat berimplikasi kepada masyarakat umum. Pada saat ini, SEMA yang banyak dijadikan rujukan oleh masyarakat (khususnya para pengemban hukum) adalah SEMA tentang Hasil Rumusan Rapat Kamar MA Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Peradilan, yang selalu diterbitkan oleh MA setiap tahun sejak tahun 2012.

Modifikasi Melalui PERMA dan SEMA

I.C. van der Vlies menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan modifikasi adalah peraturan perundang-undangan yang bertujuan mengubah pendapat hukum yang berlaku dan/atau mengubah hubungan-hubungan sosial (Maria Farida Indrati S., 2007, hlm. 4). Modifikasi berbeda dengan ‘kodifikasi’ sebagai peraturan perundang-undangan yang mengambil nilai-nilai yang sudah tumbuh di tengah masyarakat (living laws), sehingga menjadikan hukum berada di belakang masyarakat.

Tags:

Berita Terkait