Mengharmonisasikan Norma Penutup dalam Sistem Hukum Indonesia
Kolom

Mengharmonisasikan Norma Penutup dalam Sistem Hukum Indonesia

Pengembanan hukum oleh Peradilan TUN semestinya dapat mewujudkan Sistem Hukum Indonesia yang utuh, koheren dan kontekstual, yang akan menghasilkan unifikasi dan prediktabilitas hukum.

Bacaan 6 Menit

Hukum dengan media lisan tersebut terkategori sebagai “hukum alami”, yaitu hukum yang “terbentuk secara spontan di dalam kesadaran hukum masyarakat, yang berakar dari akal budi dan rasa keadilan setiap orang, tidak tertulis, sebagai tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi” (B. Arief Sidharta, 2013: 15). Misalnya, hukum alami akan menghendaki penghormatan atas jiwa dan tubuh manusia, sehingga tindakan seseorang yang secara sepihak melukai orang lain pasti dianggap melanggar hukum dalam pandangan semua manusia. Sebagai hukum berbentuk lisan non-tulisan, maka hukum acara (tatacara menuntut hak, prosedur pembuktiannya, hingga putusannya) pada hukum alami juga dilaksanakan secara lisan.

Sesudah revolusi neolitik, masyarakat menjadi semakin kompleks, sehingga hukum alami dengan media lisan tidak sanggup lagi menghadirkan kepastian dan stabilitas di masyarakat. Seseorang dapat berkilah ia tidak tahu suatu aturan lisan tertentu. Untuk itu, bersamaan dengan mulai ditemukannya tulisan enam ribu tahun silam, disusunlah hukum tertulis oleh penguasa setempat, yang diberlakukan bagi seluruh masyarakat di suatu waktu tertentu. Hukum tertulis inilah yang disebut sebagai “hukum artifisial (buatan)”. Hukum artifisal merupakan “peraturan tertulis buatan yang terikat ruang dan waktu tertentu, yang dibuat dan ditegakkan oleh kekuasaan di wilayah tertentu”. Di antara bentuk awal hukum tertulis yang sangat terkenal dan prasastinya kini tersimpan di museum Louvre adalah Kode Hammurabi, yang diundangkan sekitar empat ribu tahun lalu pada masa Babilonia kuno.

Hukum artifisial tertulis semakin mengemuka pada zaman modern ini, khususnya sejak kemunculan negara bangsa (nation state). Bahkan di era pasca-kolonialisme, terutama di negara sedang berkembang yang berusaha mengejar ketertinggalan, pemerintah berusaha meningkatkan perannya secara top down dengan menerbitkan berbagai produk peraturan tertulis (Taliziduhu Ndraha, 1989: 117). Hal ini mengakibatkan kuantitas dan kualitas produk peraturan semakin banyak dan kompleks.

Jimly Asshiddiqie, dengan meminjam istilah Richard Suskind, menyatakan Indonesia cenderung menjadi “hyper-regulated society”. Banyaknya peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat dilepaskan dari banyaknya lembaga negara/pemerintahan dan tuntutan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Banyaknya peraturan dari berbagai lembaga negara/pemerintahan tersebut di samping berpotensi menimbulkan konflik antar-aturan, juga rentan melanggar hak masyarakat.

Pasal 25 ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa Peradilan TUN bukan hanya bertugas memeriksa, mengadili, dan memutus suatu sengketa TUN, namun juga harus menyelesikan sengketa TUN yang terjadi. Untuk itu, Peradilan TUN ketika mengadili suatu sengketa mesti menerapkan pengembanan hukum secara, dalam istilah Arief Sidharta, “problematikal-tersistematisasi”.

Dalam kerangka problematikal, putusan hakim harus dapat menyelesaikan suatu sengketa TUN dan mengakhiri konflik antara pemerintah dan warga masyarakat. Dalam kerangka sistematisasi, putusan hakim Peradilan TUN dimaksudkan untuk: (1) menempatkan putusannya dalam sistem hukum sehingga dapat dilaksanakan dan menyelesaikan sengketa yang terjadi; dan (2) menyelesaikan konflik aturan [melalui invalidasi praktikal] ataupun mengisi kekosongan hukum sehingga dapat menambal dan menyelaraskan sistem hukum.

Penutup

Pengembanan hukum oleh Peradilan TUN semestinya dapat mewujudkan Sistem Hukum Indonesia yang utuh, koheren dan kontekstual, yang akan menghasilkan unifikasi dan prediktabilitas hukum. Bukan itu saja, pengembanan hukum secara problematikal-tersistematisasi tersebut akan menghasilkan bahan hukum yang tertata secara rasional dan sederhana sehingga mudah dipahami dan digunakan oleh semua pengemban hukum, baik pengemban hukum teoritikal (akademisi, peneliti hukum) maupun pengemban hukum praktikal (pembuat UU, pemerintah, hakim, advokat).

*) Dr. Sudarsono, S.H., M.H., adalah hakim PTUN Jakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait