Mengharmonisasikan Norma Penutup dalam Sistem Hukum Indonesia
Kolom

Mengharmonisasikan Norma Penutup dalam Sistem Hukum Indonesia

Pengembanan hukum oleh Peradilan TUN semestinya dapat mewujudkan Sistem Hukum Indonesia yang utuh, koheren dan kontekstual, yang akan menghasilkan unifikasi dan prediktabilitas hukum.

Bacaan 6 Menit

Berangkat dari uraian di atas, isu hukum tulisan ini adalah: (1) norma penutup dan pemeriksaannya; dan (2) harmonisasi norma penutup dalam sistem hukum. Agar tidak terlalu melebar, fokus tulisan ini harmonisasi norma penutup dalam sistem hukum oleh Peradilan TUN.

Norma Penutup dan Pemeriksaannya

Norma penutup adalah norma yang terbitnya paling akhir setelah sebelumnya ada berbagai peraturan yang mendahuluinya. Norma dalam Hukum Administrasi saling berhubungan, di mana norma dalam suatu UU akan diikuti dengan berbagai peraturan perundangan-undangan pelaksanaannya, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah dan lainnya, baru setelah itu terbit Keputusan/Tindakan Pemerintahan sebagai penutupnya. Dengan demikian, Keputusan/Tindakan Pemerintahan merupakan norma penutup, yang ketetapannya akan digunakan secara langsung oleh penerima Keputusan/Tindakan untuk melakukan aktivitas atau kegiatan (Philipus M. Hadjon, 1993: 17-22).

Sistem Hukum Indonesia telah menentukan bahwa pemeriksaan atas Keputusan/Tindakan Pemerintahan dilakukan oleh Peradilan Tata Usaha Negara (TUN). Dalam memeriksa norma penutup tersebut, hakim Peradilan TUN harus memeriksa keabsahan Keputusan/Tindakan berdasarkan semua peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dan terkait dengan penerbitan Keputusan TUN yang menjadi objek sengketa. Bukan itu saja, hakim Peradilan TUN juga dituntut untuk menyesuaikan putusannya dengan hukum yang menjadi dasar penerbitan Keputusan TUN yang digugat, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam kata lain, hakim Peradilan TUN harus selalu menempatkan putusannya dalam sistem hukum. Penempatan putusan dalam sistem hukum harus dilakukan melalui pengembanan hukum.

Secara historis, kompleksitas peraturan di bidang TUN menjadi ratio legis Pasal 66 UU Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan Dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman Dan Kejaksaan yang menyatakan: “Jika undang-undang atau berdasarkan undang-undang tidak ditetapkan Badan-Badan Kehakiman lain untuk memeriksa dan memutus perkara-perkara dalam Tata Usaha Pemerintahan, maka Pengadilan Tinggi dalam tingkatan pertama dan Mahkamah Agung dalam tingkat kedua memeriksa dan memutus perkara itu”.

Pada awal kemerdekaan tersebut, pemeriksaan sengketa TUN pada tingkat pertama dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi, bukan Pengadilan Negeri, karena sebagaimana dinyatakan Sudikno Mertokusumo, Pengadilan Negeri dianggap belum cukup cakap untuk memberi batas apa yang tercakup dalam Peradilan TUN dan menafsirkan peraturan-peraturan TUN yang jumlahnya sedemikian banyak (Paulus Effendi Lotulung, 2013:9).

Harmonisasi Norma Penutup Dalam Sistem Hukum

Tugas Peradilan TUN mengadili norma penutup cukup berat, karena: pertama, peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar keputusan pemerintahan selalu bertambah-berkembang secara cepat yang tak jarang mengakibatkan konflik-aturan; dan kedua, Peradilan TUN tidak boleh hanya sekadar memutus, namun harus menempatkan putusannya dalam sistem hukum. Mari kita urai kedua hal ini secara ringkas.

Pada masa sebelum menetap (nomaden; pemburu-pengumpul), manusia harus berpindah-pindah sesuai dengan kemampuan daya dukung alam setempat. Sebagai pemburu-pengumpul yang tidak menetap, struktur sosialnya sangat egaliter dan cair, belum membutuhkan pelembagaan kekuasaan. Media komunikasinya hanya secara lisan, belum menemukan tulisan, termasuk hukumnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait