Menanti Kiprah Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang Baru
Kolom

Menanti Kiprah Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang Baru

KPPU sudah banyak berkiprah dengan baik sejak didirikan meski tidak luput dari kekurangan.

KPPU Kini dan Nanti

Ada beberapa kemajuan signifikan yang menjadi catatan bagi penegakan hukum persaingan di Indonesia. Selain menjadi tender specialist—karena banyaknya kasus tender yang diputus—, KPPU melakukan terobosan dengan mengangkat beberapa kasus kartel industri besar. Sebut saja kartel dalam industri minyak goreng, obat-obatan, dan penerbangan. Kasus kartel juga telah mengantarkan perdebatan akademik dan ilmiah dari segi hukum acara. Penerapan pembuktian tidak langsung—baik bukti komunikasi maupun pembuktian ekonomi—mewarnai perdebatan itu. Kasus-kasus tadi membuat banyak pihak ”naik kelas” karena menggali seluruh aspek hukum dan ekonomi dalam penegakan hukum persaingan di Indonesia.

Sementara itu, masih ada pasal lain yang belum optimal penggunaannya dalam kasus yang diperiksa. Jumlah kasus yang telah diputus KPPU sungguh patut dibanggakan bila dibandingkan dengan negara lain. Perkembangan dan kemajuan dalam penegakan hukum persaingan di Indonesia tampak nyata. Hal ini didukung dengan penerbitan pedoman beberapa pasal penting—yang diharapkan memberikan unifikasi interpretasi yang sama—terhadap penerapan suatu pasal dalam UU Persaingan Usaha. TerbitnyaPP No.57/2010mengenai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan (merger dan akuisisi) saat ini patut diharmonisasikan dengan peraturan lainnya dan regulator sektoral seperti OJK.

Panitia Seleksi Calon Anggota KPPU masa bakti kali ini dibentuk pemerintah di Sekretariat Negara. Animo menjadi Anggota KPPU cukup tinggi. Tentu saja masyarakat terutama dunia usaha menantikan siapa para Anggota KPPU yang baru. Mungkin KPPU tidak sepopuler KPK atau yang sering kali terjadi salah ucap yaitu KPU. Namun, lembaga ini krusial sebagai garda terdepan pengawas persaingan usaha. Putusannya dapat berdampak baik pada industri maupun dunia usaha.

KPPU memang dipandang sebagai momok yang menakutkan bagi pelaku usaha. Di sisi lain, KPPU dapat menjadi bumerang bagi pemerintah ketika ada kebijakan pemerintah yang bersifat antipersaingan. Bagi masyarakat, putusan KPPU terkadang sulit dipahami karena ekspektasi yang berbeda terhadap dampak suatu putusan. Masyarakat lebih tertarik pada hal-hal yang langsung dapat dirasakan di pasar—seperti harga murah serta pilihan dan ketersediaan produk—, bukan melihat denda atau ganti rugi yang nilainya fantastis. Dampak dari suatu putusan tidak mudah dimengerti oleh 250 juta lebih konsumen di Indonesia, meski terasa cukup telak bagi pelaku usaha yang dijatuhi hukuman oleh KPPU.

Butuh waktu panjang untuk memberi pengakuan terhadap tugas, wewenang, dan keahlian khusus KPPU dalam mengawasi persaingan usaha di Indonesia. Bahkan, negara seperti Amerika Serikat dengan Federal Trade Commission dan Department of Justice—yang menjadi kiblat putusan perkara persaingan usaha—butuh waktu puluhan tahun untuk menjadi lembaga yang kredibel seperti sekarang ini.

Menjadi lembaga yang independen dan kredibel ditentukan siapa yang menjadi anggota KPPU. Beberapa kriteria telah diajukan, mulai dari tidak mempunyai kepentingan pribadi, memiliki dedikasi waktu dan pemikiran yang tidak terbagi terhadap lembaga, hingga mempunyai keahlian hukum ekonomi yang memang sangat dibutuhkan untuk mengerti masalah persaingan usaha. Hal tak kalah penting lainnya, kandidat tidak terkontaminasi oleh kepentingan, mulai dari kepentingan sepihak dunia usaha—yang erat dengan kekuatan ekonomi untuk memengaruhi proses pemilihannya—hingga kepentingan politik dari suatu kelompok ekonomi tertentu.

Perkembangan terbaru adalah ketika UU No.11 Tahun 2020 jo. UU No.6/2023 tentang Cipta Kerja memberikan konsekuensi bagi UU Persaingan Usaha, seperti keberatan terhadap Putusan KPPU menjadi kewenangan Pengadilan Niaga. PP No.44/2020 juga mengubah besaran denda—dari minimum Rp1 milyar dan maksimum Rp25 milyar menjadi minimum Rp1 milyar dan maksimum 50% dari keuntungan bersih atau maksimum 10% dari total penjualan—pada pasar bersangkutan selama kurun waktu terjadinya pelanggaran. Perubahan ini mendorong KPPU dan Mahkamah Agung segera memperbaiki peraturannya.

Tags:

Berita Terkait