Masalah Barang Bukti yang Hilang di Tangan Penegak Hukum
Kolom

Masalah Barang Bukti yang Hilang di Tangan Penegak Hukum

Telah diatur dalam undang-undang hingga peraturan instansi berwenang.

Bacaan 3 Menit
Dicki Nelson (kiri) dan Romy Alfius Karamoy (kanan). Foto: Istimewa
Dicki Nelson (kiri) dan Romy Alfius Karamoy (kanan). Foto: Istimewa

Barang bukti disebut pula dengan istilah corpus delicti. Definisinya ada beberapa mulai dari benda yang digunakan pelaku untuk melakukan kejahatan tindak pidana, benda yang merugikan korban atas terjadinya tindak pidana, atau benda yang digunakan pelaku untuk menghalangi penyidik dalam proses penyidikan tindak pidana. Benda yang disita berguna sebagai barang bukti di pengadilan.

Ketentuan barang bukti dapat ditemukan dalam kaitannya dengan penyitaan atau dikenal istilah Bahasa Belanda “in beslagneming”. Ketentuannya ada dalam Pasal 1 butir 16 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi, “Serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda atau tidak bergerak, berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.” Barang Bukti memiliki 2 jenis kualifikasi yaitu berwujud dan tidak berwujud sesuai Pasal 39 ayat 1 KUHAP.

Baca juga:

Langkah Hukum

Secara umum pengelolaan barang bukti dijamin, dijaga, dan dilindungi baik penegak hukum maupun instansi lain yang berwenang. Prosedurnya harus sangat memperhatikan ketelitian agar tidak terjadi kelalaian atau kesengajaan (dolus/culpa) yang fatal. Merujuk ketentuan Pasal 233 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama, pelaku atas barang hilang diancam empat tahun penjara. Lalu, Pasal 365 KUHP baru memberi ancaman empat tahun penjara atau denda Rp500.000.000.

Jika barang bukti yang hilang meliputi barang-barang elektronik dan/atau digital lainnya—misalnya telepon seluler, laptop, komputer— maka dapat pula dikenakan Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (1) UU No.11 Tahun 2008 jo. No.19 Tahun 2016 jo. No.1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Hukumannya paling lama delapan tahun dan/atau denda Rp2 miliar apabila menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.

Selain itu, tiap instansi yang berwenang juga memiliki prosedur dan/atau mekanisme hukum sendiri untuk mengurus barang bukti. Hilangnya barang bukti disebabkan oleh pelanggaran etik atau kelalaian dapat diproses dengan langkah dan/atau upaya sebagai berikut.

Pertama adalah pada tingkat kepolisian. Pihak yang kehilangan barang bukti dapat mengajukan pengaduan atau pemberitahuan kepada Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Propam). Prosedur ini ada dalam peraturan Pasal 19 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No.10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri 10/10).

Tags:

Berita Terkait