Kisah Klasik Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Polemik Terjemahannya
Potret Kamus Hukum Indonesia

Kisah Klasik Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Polemik Terjemahannya

Puluhan tahun berlalu, upaya memiliki KUHP nasional belum terwujud. KUHP yang sekarang buatan Belanda, dan penerjemahannya belum tuntas. Gugatan ke pengadilan pun mentok.

Muhammad Yasin/Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Cuma, menurut Isnur, setelah bersidang beberapa kali, majelis menyatakan gugatan itu tidak dapat diterima alias niet onvantkelijk verklaard (NO). Majelis menyatakan tidak berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo. “Kami nyatakan banding saat itu,” cerita Isnur kepada hukumonline.

 

RUU KUHP

Meskipun tidak ada terjemahan resmi, KUHP dipakai hingga kini untuk menjerat para pelaku tindak pidana umum. Sejak dekade 1960-an pemerintah sudah berupaya menyusun KUHP nasional yang ditulis orang Indonesia dan ke dalam bahasa Indonesia. Namun hingga tulisan ini dibuat, proses penyusunannya baru pada tahap pembahasan antara DPR dan Pemerintah. Masih ada bagian tertentu yang belum disepakati sepenuhnya.

 

Ahmad Sofian menyarankan selama revisi KUHP belum disahkan sebagai KUHP nasional sebaiknya pemerintah dan DPR membuat terjemahan resmi dan memberikan definisi atas beberapa istilah yang dipakai dalam KUHP. Jika ada terjemahan resmi, perbedaan tafsir antarpenegak hukum dapat diminimalisasi. “Dengan demikian kepastian hukum atas terminologi tertentu menjadi lebih akurat dan tidak menimbulkan ragam tafsir yang berujung pada kesesatan penegakan hukum,” tegasnya.

 

Bukan tidak ada upaya yang dilakukan Pemerintah. Lewat Badan Pembinaan Hukum Nasional diupayakan untuk membuat terjemahan resmi. Tetapi karena dikritik banyak orang, akhirnya tidak ada terjemahan KUHP resmi sampai sekarang. Yang ada, hanya sebuah KUHP versi BPHN.

 

Dalam bukunya, ‘Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, mantan Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro menulis bahwa sejak awal sebenarnya sudah ada upaya untuk menghilangkan keragu-raguan atau ketidakpastian akibat penafsiran istilah-istilah tertentu dalam KUHP. Menurut dia, ada dua cara menafsirkan yang sering digunakan yakni memperluas cakupan arti. Misalnya memperluas makna ambtenaar (pegawai negeri) yang disebut dalam Pasal 92 KUHP. Cara kedua adalah mempersempit arti suatu istilah hukum, seperti istilah verstaan dalam Pasal 92 bis hanya terbatas pada orang-orang yang menjalankan perusahaan, bukan semua orang yang menjadi pedagang.

 

Satu pijakan yang harus diingat adalah ketentuan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaan. Pasal 26 menegaskan “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam peraturan perundang-undangan”. Lantas, apakah akan dibiarkan KUHP, KUH Perdata, HIR/RBg terus berlaku tanpa ada terjemahan resmi yang diputuskan negara?

 

Soerjanatamihardja, dalam KUHP yang dia susun, menuliskan kalimat ini puluhan tahun lalu: “Kami mempunyai keyakinan yang penuh bahwa di kelak kemudian hari bahasa asing tidak dipergunakan lagi dalam perundang-undangan atau dalam surat-surat resmi di Indonesia”.

 

Namun dosen hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakkir, berpendapat bahwa upaya penerjemahan resmi saat ini sudah tidak menguntungkan dan akan menghabiskan banyak energi. “Karena kita segera mengacu pada RUU KUHP yang sudah mau selesai,” ujarnya kepada hukumonline, Senin (8/7) lalu.

Tags:

Berita Terkait