Kisah Klasik Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Polemik Terjemahannya
Potret Kamus Hukum Indonesia

Kisah Klasik Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Polemik Terjemahannya

Puluhan tahun berlalu, upaya memiliki KUHP nasional belum terwujud. KUHP yang sekarang buatan Belanda, dan penerjemahannya belum tuntas. Gugatan ke pengadilan pun mentok.

Muhammad Yasin/Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Para penyusun KUHP tersebut juga menyadari tentang pentingnya memperhatikan aspek penerjemahan dari Wetboek van Strafrecht (WvS), selain penyusunan isinya. Prof. Moeljatno, misalnya, menulis pada edisi perdana (1952) KUHP yang ia terjemahkan: meskipun sudah banyak terjemahan WvS yang beredar, sedikit banyak menitikberatkan pada terjemahan kata demi kata tanpa mengingat makna khusus suatu kata, hubungan kalimat, atau rangkaian pengertian tertentu. Akibatnya, WvS sukar dimengerti oleh orang yang tak mampu berbahasa Belanda.

 

Moeljatno menyebut contoh kata landaard dalam rumusan Pasal 156 WvS. Dalam KUHP kala itu diterjemahkan menjadi ‘wataknya suku bangsa’ karena lema aard dalam bahasa Belanda dapat juga bermakna ‘watak’. Seharusnya, lema landaard itu diartikan sebagai negeri asal. Contoh lain adalah kata ‘drink-water-inrichting’ dalam Pasal 203 WvS yang disalin sebagai ‘tempat air minum’, sehingga maknanya sangat luas. Pengertian yang luas menyebabkan teko atau tempat teh masuk kualifikasi pasal tentang bahaya karena kealpaan barangsesuatu dimasukkan ke dalam sumur, pompa, sumber air, atau perlengkapan air minum.

 

Dalam menyalin atau menerjemahkan WvS ke dalam KUHP, tulis Moeljatno, konsekuensi menggunakan istilah, guna memudahkan dan menyederhanakan. Tetapi dalam perkembangan cetakan demi cetakan, KUHP versi Moeljatno telah mengalami perubahan sejumlah istilah yang lebih pas terjemahannya. Misalnya, istilah cacat ‘besar’ dalam Pasal 90 diubah menjadi cacat ‘berat’; dan istilah terganggunya ‘kekuatan akal’ diganti menjadi terganggunya ‘daya ingat’.

 

Baca juga:

 

Andi Hamzah juga menceritakan kesulitan penerjemahan WvS itu dalam kata pengantar buku KUHP karangannya. “Mengedit KUHP yang merupakan terjemahan (Wetboek van Strafrecht) dengan perubahan-perubahannya bukan pekerjaan yang mudah. Setelah membandingkan dengan terjemahan-terjemahan yang lain, maka ternyatalah bahwa hampir semua ada kesalahan cetak, belum lagi bahasa Indonesia yang berbeda-beda”.

 

Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu juga mengakui ada perubahan penggunaan istilah. Misalnya, atas saran Prof. Oemar Seno Adji, Andi menggunakan kata ‘berkomplot’ untuk terjemahan samenspaning. Ternyata pembentuk undang-undang di Indonesia lebih memilih menggunakan istilah yang umum dipakai yakni ‘permufakatan jahat’. KUHP versi terbaru karya Andi Hamzah sudah menggunakan istilah permufakatan jahat.

 

Perbedaan kata yang dipakai sebagai terjemahan WvS warisan Belanda tak lepas dari ketiadaan terjemahan resmi yang diterbitkan pemerintah. WvS warisan Belanda diberlakukan berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Sayangnya, puluhan tahun berlalu, hingga kini tidak ada terjemahan resmi KUHP meskipun BPHN menerbitkan KUHP yang diklaim sebagai terjemahan resmi. Para pemangku kepentingan, akademisi dan praktisi, menggunakan buku KUHP yang mungkin berbeda-beda.

Tags:

Berita Terkait