Kisah Klasik Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Polemik Terjemahannya
Potret Kamus Hukum Indonesia

Kisah Klasik Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Polemik Terjemahannya

Puluhan tahun berlalu, upaya memiliki KUHP nasional belum terwujud. KUHP yang sekarang buatan Belanda, dan penerjemahannya belum tuntas. Gugatan ke pengadilan pun mentok.

Muhammad Yasin/Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Dosen Hukum Pidana Universitas Bina Nusantara, Ahmad Sofian, berpendapat ketiadaaan terjemahan resmi KUHP berimplikasi pada kompleksitas tafsir atas unsur unsur delik dalam KUHP, bahkan mungkin menimbulkan multitafsir pada delik tertentu. Akibatnya sering terjadi perdebatan panjang dan melelahkan di ruang sidang antara hakim, jaksa dan pengacara. Konsekuensi lain, ada sejumlah putusan pengadilan yang tidak konsisten menerapkan pasal- pasal KUHP karena perbedaan pandangan hakim yang satu dengn hakim lain untuk norma ya sama. “Ini merupakan keguncangan hukum yang luar biasa yang dibiarkan sejak tahun 1946,” ujarnya kepada hukumonline.

 

Kini adanya banyak buku cetakan KUHP baik yang ditulis individu maupun dicetak perusahaan penerbit. Pada umumnya isinya sama, tetapi ada satu dua  kata yang diterjemahkan berbeda pada pasal tertentu. Para pembaca mungkin memiliki pemahaman yang sama atas apa yang dimaksud pembentuk undang-undang. “Meskipun maknanya sama, namun tetap dapat menimbulkan tafsir berbeda sehingga penegakan hukum pidana dengan KUHP menjadi sangat kompleks dan adakalanya tidak konsisten,” sambung doktor hukum pidana lulusan Universitas Indonesia itu.

 

Para ahli hukum pidana Indonesia seperti Andi Hamzah dan Harkristuti Harkrisnowo sebenarnya sudah lama menyuarakan pentingnya terjemahan resmi KUHP. Ketiadaan terjemahan resmi dapat menimbulkan interpretasi berbeda-beda, termasuk beda tafsir antarpenegak hukum. Perbedaan interpretasi pada akhirnya membuka peluang ketidakpastian hukum. Contoh konkritnya adalah perbedaan tafsir terhadap istilah belediging dalam Pasal 134 WvS. Ada yang melihatnya sebagai penghinaan, sebaliknya ada yang menyebutkan sama dengan penistaan. Padahal, penistaan (smaad) memiliki pengertian yang berbeda dari penghinaan.

 

Baca juga:

 

Gugatan

Bagi sejumlah orang, ketiadaan terjemahan resmi KUHP bukan persoalan sepele. Sebab, dalam praktik, mereka menghadapi persoalan hukum manakala hendal menelusuri asal muasal suatu istilah hukum. M. Isnur punya pengalaman menarik ketika menelusuri latar belakang istilah overspel yang diatur dalam Pasal 284 KUHP. Saat itu, terjadi adu kekuatan antara mereka yang ingin memperluas cakupan zina, dan mereka yang berpandangan sebaliknya, lewat pengujian ke Mahkamah Konstitusi. Istilah overspel dalam KUHP sering diartikan sebagai zina. Namun ada juga yang menggunakan istilah ‘mukah’. Manakah istilah yang benar, atau kedua-duanya benar? Isnur merasa ketiadaan terjemahan resmi KUHP menjadi pangkal persoalan beda pandang tentang suatu konsep hukum pidana.

 

Dalam menjalankan tugas sebagai pengacara publik, Isnur juga sering dihadapkan pada ketidakjelasan makna dan batasan suatu istilah. Misalnya, apa yang dimaksud dengan ‘penyiksaan’? Apakah menepis atau mencubit tangan sudah masuk kategori penyiksaan? Ia yakin persoalan yang sama sering dihadapi oleh aparat penegak hukum. Itu pula sebabnya, Isnur menganggap terjemahan resmi KUHP sesuatu yang harus dibuat oleh negara.

 

Puncaknya adalah ketika Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), tempat Isnus bernaung, beserta Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan LBH Masyarakat melayangkan gugatan terhadap Pemerintah dan DPR atas kelalain menerjemahkan KUHP. Gugatan mereka, disebut Tim Advokasi KUHP Berbahasa Indonesia resmi, dilayangkan ke PN Jakarta Pusat pada tahun lalu. Lewat upaya hukum itu, Tim Advokasi ini berharap pengadilan memerintahkan pada Tergugat untuk melakukan penerjemahan resmi KUHP. Ini salah satu upaya kelompok masyarakat sipil untuk mendorong Pemerintah.

Tags:

Berita Terkait