Kesalahan Diagnosis Dokter: Tergolong Malpraktek atau Kelalaian Medik-kah?
M.Y.P. Ardianingtyas SH LLM(*) dan Dr.Charles M. Tampubolon(**)

Kesalahan Diagnosis Dokter: Tergolong Malpraktek atau Kelalaian Medik-kah?

Negara Pam Sam sempat dilanda kehebohan ketika sekumpulan dokter berdemonstrasi di beberapa negara bagian. Mereka memprotes kenaikan premi asuransi yang dijadikan jaminan dalam menghadapi kasus malpraktek medik atau kelalaian medik, seandainya mereka melakukan kesalahan diagnosis.

Bacaan 2 Menit

Namun ada baiknya pengertian malpraktek medik dan kelalaian medik di Indonesia diseragamkan dan diatur secara jelas serta tertuang dalam suatu peraturan perundang-undangan atau aturan tertulis. Terlepas apakah nantinya akan dibedakan antara pengertian malpraktek medik dan kelalaian medik, atau menjadi satu pengertian tanpa pembedaan.

Pengaturan ini sangatlah penting guna terciptanya suatu kepastian hukum bagi masyarakat dan dokter serta untuk menjamin rasa keadilan. Para dokter tidak dapat menghindar dari tanggung jawab hukum profesinya, sedangkan pasien tidak dapat sembarangan menggugat dokter yang menanganinya. Terlebih apabila terlihat jelas bahwa tindakan medik yang dilakukan oleh dokter yang bersangkutan telah memenuhi UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dan Standar Profesi Kedokteran yang berlaku.

Mengenai kesalahan diagnosis yang dilakukan oleh seorang dokter termasuk malpraktek medik/kelalaian medik atau bukan, penulis berpendapat bahwa sepanjang seorang dokter dalam melakukan tindakan medik terhadap pasiennya memenuhi UU Kesehatan, KODEKI (lihat Pasal 1,2,6,10 dan 11) dan Standar Profesi Kedokteran, maka sekalipun dokter tersebut melakukan kesalahan diagnosis, tindakan dokter tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan malpraktek medik/kelalaian medik.

Setiap kasus kesalahan diagnosis dokter yang mencelakakan pasiennya yang selama ini terjadi di Indonesia selalu dibawa ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) di bawah naungan IDI, baik di tingkat pusat maupun di tingkat cabang.

Memang KODEKI hanya mencantumkan tindakan apa yang harus dilakukan atau tidak seharusnya dilakukan oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya. Namun penerapan sanksi apabila terjadi pelanggaran atas KODEKI tidak diatur secara jelas. Hanya sanksi etika dan moral yang melekat dalam setiap pelanggaran KODEKI.

Jadi MKEK hanya memutuskan persoalan etika profesi kedokteran, mengingat kapasitasnya yang bukan merupakan lembaga pengadilan medik yang berwenang secara hukum untuk memutuskan apakah suatu kesalahan diagnosis adalah tergolong malpraktek medik atau kelalaian medik. Paling banter MKEK hanya bisa memberikan pernyataan apakah seorang dokter yang melakukan kesalahan diagnosis telah melakukan tindakan medik sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah UU Kesehatan, KODEKI dan Standar Profesi Kedokteran yang ada atau tidak.

Mengenai perumusan Standar Profesi Kedokteran (medische profesionele standaard) menurut Leenen (seperti yang telah diterjemahkan oleh Drs. Fred Ameln, S.H.), adalah berbuat secara teliti dan seksama menurut ukuran medik, sebagai seorang dokter yang memiliki kemampuan rata-rata (average) dibanding dengan dokter dari ketagori keahlian medik yang sama, dalam situasi kondisi yang sama dengan sarana upaya (middelen) yang sebanding/proporsional dengan tujuan kongkrit tindakan/perbuatan medik tersebut).

Menurut Drs. Fred Ameln, S.H., perumusan standar di atas harus dipakai untuk menguji apakah suatu perbuatan medik merupakan malpraktek atau tidak. Ternyata, Drs. Fred Ameln, S.H. berpendapat, unsur perumusan Standar Profesi Kedokteran menurut Leenen adalah yang paling lengkap dan memiliki banyak unsur yang sangat relevan.

Untuk menilai apakah kesalahan diagnosis yang dilakukan oleh seorang dokter termasuk kategori malpraktek medik atau kelalaian medik, dapat ditelaah melalui standar di atas sebagai berikut: Pertama, dokter harus bekerja secara teliti dan seksama. Apabila memang kesalahan diagnosis yang dilakukan oleh seorang dokter adalah akibat ketidaktelitiannya, misalnya salah dalam membaca hasil pemeriksaan laboratorium pasiennya, maka dokter yang bersangkutan telah memenuhi unsur kelalaian.

Kedua, dokter dalam mengambil tindakan harus sesuai dengan ukuran ilmu medik. Apabila dokter tersebut telah melakukan tindakan medik sesuai dengan ukuran ilmu medik dan terjadi kesalahan diagnosis, maka kesalahan dokter tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai malpraktek medik atau kelalaian medik.

Ketiga, kemampuan rata-rata dibanding kategori keahlian medik yang sama. Keempat, dalam situasi kondisi yang sama. Kelima, sarana upaya yang sebanding dengan tujuan kongkrit tindakan medik tersebut. Bahwa menurut Drs. Fred Ameln, S.H., tindakan medik tidak saja harus sesuai dengan standar medik saja, akan tetapi harus pula ditujukan pada suatu tujuan medik. Tindakan diagnosis maupun tindakan terapeutik harus secara nyata ditujukan pada perbaikan situasi pasien. Apabila jelas terlihat bahwa seorang dokter telah melakukan upaya medik yang sangat maksimal demi kesembuhan pasien, namun ternyata dokter tersebut melakukan kesalahan diagnosis, maka tindakan medik dokter tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai malpraktek medik atau kelalaian medik.

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa kondisi setiap pasien adalah berbeda-beda, walaupun penyakit yang dideritanya sama. Sekali lagi dokter bukanlah Tuhan, namun hanyalah manusia biasa yang mencoba untuk memberikan pertolongan berdasarkan ilmu yang dikuasainya, UU Kesehatan, KODEKI serta Standar Profesi Kedokteran yang ada.

Selain itu, menurut Drs. Fred Ameln, S.H. bahwa harus disadari bahwa sulit sekali memberikan kriteria atau standar yang pasti untuk dipakai dalam setiap tindakan medik karena perbedaan situasi kondisi fisik pasien. Kondisi fisik para pasien yang berbeda-beda yang dapat menghasilkan reaksi, terutama terhadap obat, yang berbeda walaupun diberikan terapi yang sama sesuai dengan standar umum yang berlaku. Maka dari itu penulis tetap berpendapat bahwa sekalipun dokter tersebut melakukan kesalahan diagnosis namun dia sudah memenuhi UU Kesehatan, KODEKI dan Standar Profesi Kedokteran yang ada dan berlaku, maka tindakan medik dokter tersebut bukanlah suatu tindakan malpraktek medik atau kelalaian medik.

Apabila ternyata kesalahan diagnosis dokter tersebut tergolong malpraktek medik/tindakan medik atau bukan, dan  tidak terbukti secara jelas dan gamblang, sementara pasien ternyata menuntut ganti rugi dengan menggugat sang dokter baik secara perdata maupun pidana, maka hal ini harus dibuktikan lebih lanjut melalui lembaga peradilan yang ada di Indonesia, dengan tetap menganut asas praduga tak bersalah (presumption of innocent).

Untuk memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum baik bagi masyarakat dan para dokter, seperti yang telah dipaparkan diatas, penulis mengusulkan perlunya penyeragaman dan penegasan mengenai pengertian malpraktek medik ataukelalaian medik, yang tertuang dalam suatu peraturan perundang-undangan. Dan juga adanya penyeragaman SOP untuk fasilitas kesehatan yang ada dan berlaku umum di seluruh Indonesia.

Selain itu, penerapan audit dokter atau medical audit sangatlah penting untuk menjaga kualitas para dokter, terutama bagi para dokter spesialis. Misalnya para dokter diwajibkan untuk mengikuti pendidikan dokter berkelanjutan (Continuing Medical Education/CME) agar ilmunya tidak mengalami stagnasi dan selalu mengikuti perkembangan ilmu kedokteran terbaru (medical is long life study). Medical audit akan bagus apabila badan pengawas yang masih ada yaitu Dinas Kesehatan dan IDI dapat berjalan dengan lebih efektif dan efisien. Pengaturan mengenai Medical Audit memang sebaiknya dimasukkan dalam bagian RUU Praktek Kedokteran sebagai kewajiban dokter yang mempunyai akibat hukum.

Hal ini bertujuan untuk mencegah atau meminimalisasi kesalahan diagnosis dokter yang tergolong malpraktek medik atau kelalaian medik. Sehingga masyarakat Indonesia mendapatkan rasa aman, perlindungan hukum serta pelayanan kesehatan yang terbaik dari para dokter di Indonesia.  Bisa dibayangkan apabila dokter di Indonesia diwajibkan untuk membayar asuransi profesi yang preminya sangat tinggi seperti yang terjadi di Amerika Serikat karena tingginya gugatan malpraktek medik/kelalaian medik. Jangan-jangan masyarakat lagi yang akan menanggung tingginya biaya jasa dokter, karena tingginya premi asuransi profesi dokter tentunya akan mengakibatkan tingginya biaya pengobatan.

Tags: