Kesalahan Diagnosis Dokter: Tergolong Malpraktek atau Kelalaian Medik-kah?
M.Y.P. Ardianingtyas SH LLM(*) dan Dr.Charles M. Tampubolon(**)

Kesalahan Diagnosis Dokter: Tergolong Malpraktek atau Kelalaian Medik-kah?

Negara Pam Sam sempat dilanda kehebohan ketika sekumpulan dokter berdemonstrasi di beberapa negara bagian. Mereka memprotes kenaikan premi asuransi yang dijadikan jaminan dalam menghadapi kasus malpraktek medik atau kelalaian medik, seandainya mereka melakukan kesalahan diagnosis.

Bacaan 2 Menit

Kasus di atas tentunya sangat mengejutkan masyarakat awam. Keterkejutan tersebut semakin bertambah--apabila memang benar telah terjadi kesalahan diagnosis--mengingat reputasi dokter ahli kandungan yang menangani kasus tersebut sangat baik dan terpandang di Indonesia. Ironisnya lagi, kasus seperti ini bukan hanya sekali dua kali terjadi, tapi sudah sangat sering terjadi di Indonesia, bahkan telah banyak memakan korban jiwa. Banyak masyarakat yang berobat bukan menjadi sembuh, tapi malah menjadi cacat seumur hidup, bahkan meninggal dunia. Hal tersebut terjadi semata-mata adalah akibat kesalahan diagnosis dokter dalam penanganan terhadap pasiennya.

Anne adalah salah satu dari sekian banyak pasien di Indonesia yang mengalami pengalaman buruk akibat kesalahan diagnosis dokter. Kebetulan Anne sang pasien tersebut adalah istri pengacara ternama, sehingga kasus ini demikian gamblang terangkat ke media konsumsi masyarakat. Namun, bagaimana kalau hal ini terjadi pada pasien yang berasal dari golongan masyarakat miskin?

Tergolong malpraktek medik atau kelalaian medik-kah dokter yang melakukan kesalahan diagnosis tersebut? Menurut Dr. Marius Widjajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), bila ada standarnya, salah diagnosis bisa diduga malpraktek. Sebab, dari salah diagnosis bisa berakibat salah terapi. Salah terapi bisa berakibat fatal. Banyak pasien meninggal di tangan dokter, dan ironisnya di Indonesia belum ada hukum yang mengatur standar profesi kedokteran dalam melakukan kesalahan profesi. Sehingga, sulit membedakan antara malpraktek dengan kelalaian, kecelakaan dan kegagalan. Apalagi pemahaman malpraktek pun masih belum seragam. Sehingga kerap pasien menuding terjadi malpraktek, sedangkan dokter membantahnya (Gatra, 13 Maret 2004).

Sementara itu Prof. dr.Farid Anfasa Moeloek, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berpendapat, batasan tegas tenaga medis melakukan malpraktek adalah jika tindakan tenaga medis tersebut sudah melanggar standar prosedur. Masalahnya, setiap rumah sakit memiliki Standar Operating Procedure (SOP) yang berbeda-beda, tergantung pada fasilitas yang dimiliki rumah sakit. Sehingga mengenai tuntutan malpraktek harus dilihat kasus per kasus. Tidak bisa digeneralisasi hal seperti apa yang menjadi malpraktek, dan mana yang bukan. (Kompas, 23 Januari 2003).

Kenyataan diatas sudah barang tentu membuat masyarakat 'ngeri' dengan dokter. Kengerian masyarakat tersebut bahkan bisa mengarah menjadi suatu ketidakpercayaan masyarakat terhadap dokter di Indonesia. Kengerian ini makin bertambah dengan kenyataan sulitnya menyeret dokter ke meja hijau karena tidak adanya suatu keseragaman tentang pemahaman malpraktek, karena ketiadaan hukum yang mengatur standar profesi kedokteran. Akhirnya, kalangan berduit memilih untuk berobat ke luar negeri seperti Singapura, Malaysia atau Australia, bahkan sampai ke negeri Cina.

Berdasarkan data LBH Jakarta, setiap tahun sedikitnya sepuluh orang melakukan pengaduan kepada LBH karena tindakan dokter atau petugas kesehatan yang merugikan. Tindakan tersebut mengakibatkan kecacatan atau kematian pasien (www.kompas.com, 28 Januari 2003). Sepengetahuan penulis, sebagian besar dari kasus yang dilaporkan tersebut telah diselesaikan secara damai.

Sementara di Amerika Serikat untuk tahun 2000 saja, terdapat 86.640 kasus tuntutan malpraktek dan sebagian besar juga diselesaikan melalui mediasi (www.medicalmalpractice.com). Hal ini membuat masyarakat semakin mencap dokter sebagai profesi yang kebal hukum. Kenyataan ini tentunya tidak hanya merugikan masyarakat, namun dapat merugikan profesi dokter sendiri.

Halaman Selanjutnya:
Tags: